Munir dan Jiwa Besar Pergerakan

Perkenalanku mengenai Pejuang HAM bernama Munir itu terjadi pada tahun 2004. Saat dia diberitakan sudah meninggal sebab diracun Arsenik di atas pesawat saat menuju negeri Belanda. Saat itu rumahku masih belum memiliki televisi. Setiap sore sebelum berangkat ke pondok biasanya aku pergi ke rumah pak Lek ku untuk menonton TV. Tidak peduli acaranya apa. Sebagai anak desa di tahun itu, hanya menonton gambar di layar televisi saja rasanya sudah menyenangkan.

Dalam ingatan waktu itu, tampak istri almarhum Munir bernama Suciwati sedang berjalan dan dikerubungi banyak wartawan. Entah apa yang ditanyakan para wartawan itu. Barangkali mereka juga menanyakan hal-hal klise khas media seperti, "bagaimana perasaan anda mendengar kabar mengenai kejadian ini?" Atau "apakah ada tanda-tanda yang disampaikan almarhum sebelum beliau meninggal?". Sungguh itu pertanyaan yang aneh dalam jurnalisme. Tapi mungkin sebagai sebuah obrolan hal itu dianggap cukup bekerja.

Yang aku ingat saat itu Suciwati berjalan menggunakan setelan Jas hitam dan membawa tas samping. Ia tampak tegar dan menjawab pertanyaan wartawan dengan sedikit senyum. Menyembunyikan kesedihan bukan perkara mudah, tidak semua orang bisa melakukanya dengan baik. Bahkan Bu Lek ku yang waktu itu juga menonton bertanya kepada Pak Lek(sebenarnya pertanyaan ini menggunakan bahasa Jawa Timur-an). "Kok tidak menangis atau sedih ya kang, orangnya?" Kemudian Pak Lek ku menjawab. "Lawong mereka orang besar. Ya mereka bersikap selayaknya orang besar". Mengingat jawaban dari Pak Lek, aku jadi membedakan kualitas orang yang suka nangis di depan kamera. Juga pada kamera yang suka menjajakan kesedihan pada pemirsanya. Saking sedihnya sebuah reality show itu sampai kita sebagai pemirsa tidak sadar bahwa setengah dari fakta acara itu ada kegiatan komersial.

Tentunya yang dimaksud Orang Besar oleh Pak Lek tadi adalah soal jiwa, bukan soal pangkat, materi atau status sosial. Sebagaimana syair yang digubah oleh Sunan Bonang mengenai Bocah Angon. Kata Bocah Angon tidak ditunjukkan kepada Jenderal, Mentri, atau bahkan Direktur. Tapi pada mereka yang memiliki jiwa angon. Angon dalam istilah Jawa adalah membimbing, begitulah kurang lebih yang saya tahu.

Kurasa sebenar-benarnya orang pergerakan adalah mereka yang memiliki jiwa besar. Jiwa yang tidak mudah digoyahkan dalam keadaan apapun. Jiwa yang selesai dengan dirinya sendiri dan tidak merasa layak mendapatkan apa yang bukan haknya. Tugas pergerakan adalah memberikan manfaat yang dia mampu -biar sekecil apapun- kepada khalayak, dan juga tidak melankolis didepan publik.

Pada suatu masa aku melihat justru berpergerakan adalah mengikat diri pada kubu tertentu. Hingga kemudian menggantikan seniornya untuk meneruskan apa yang dulunya dikritisi. Mungkin itu tetap bisa dianggap sebagai berpergerakan. Namun berpergerakan tanpa dibarengi dengan jiwa besar tidak pantas disebut agen perubahan. Mereka lebih pantas dianggap sebagai agen penawaran. Membahas penawaran berarti juga membahas untung rugi secara pribadi.

Orang seperti itu pastinya akan takut mati. Mereka tak perlu diracun di udara. Mereka mungkin cukup dijadikan juru bicara presiden, atau menteri, atau diangkat jadi komisaris BUMN. Atau bahkan mungkin cuma dijadikan agen buzzer di blog dan media sosial. Sesudah itu jiwanya terlelap dalam kesibukan tawar-menawar.

Kurasa memang tidak mudah menjadi bagian dari pergerakan. Meski ketidakmudahan bukan berarti tidak bisa. Aku sendiri merasa jiwaku masih terlalu kecil untuk hal itu. Tapi entah mengapa begitu melihat ada banyak postingan mengenai munir aku jadi teringat sore di tahun 2004 itu, dan kemudian aku ingin menuliskannya.

Terimakasih atas ingatan berharga ini

Salam jiwa besar



Komentar