Tidak Berjudul 2


Aku tidak banyak ngobrol dengan orang akhir-akhir ini. Bahkan untuk orang yang aku nanti-nantikan agar bisa mengobrol dengannya, tidak juga aku dapatkan. Barang kali dia orang yang sibuk, sedangkan aku hanya pengangguran tak berkegiatan. Barang kali memang tidak seharusnya untuk terlalu banyak ngobrol dan sedikit kerja. Sebab hal itu malah akan membuat jiwa mati pelan-pelan. Mungkin sebaiknya tak pernah kunantikan waktu untuk ngobrol itu. Biarlah semua terjadi sesuai perjalanan alam.

Hanya ada satu oranng yang cukup intens untuk ngobrol denganku. Orang yang mengakui untuk belajar dariku, yang seharusnya juga aku mau belajar darinya. Sebab ada banyak hal yang tidak kumiliki darinya, bahkan dalam umurku yang jauh lebih tua ini. Mungkin sebaiknya aku menata diri agar bisa layak untuk menjadi lawan komunikasi yang baik. Aku harus juga mengurangi hal-hal yang kontraproduktif dalam diriku. Agar dia yakin untuk menjalin kerjasama yang bisa saling menguntungkan, dan juga membawa diriku dalam tranformasi yang lebih berguna. Selama ini aku tidak pernah benar-benar berpikir mengenai tranformasi yang ada dalam diriku. Aku hanya menjalani hari-hari yang ada tanpa tujuan yang kuat. Rasanya hal itu membuatku kosong secara pribadi dan juga kosong dalam pandangan orang lain.

Aku banyak membicarakan hal-hal yang serius dengannya. Mulai dari masalah pribadi masing-masing, masalah lingkuungan, ilmu kepribadian, sampai pada masalah agama, bangsa, dan negara. Namun pada akhirnya akuu tidak sepenuhnya menjadi orang yang layak untuk membicarakan itu semua dengannya. Sebab pada akhirnya aku merasa pribadiku jauh tidak lebih baik darinya. Mungkin sebaiknya aku harus diam dan tidak peduli dengan wacana yang sedang dia bawa. Dengan begitu aku tidak memiliki beban sebagai pribadi yang layak untuk memberikan wacanaku padanya. Sebab wacana itu tidak menubuh pada diriku dan itu membuatku tidak pantas untuk bicara. Wacana yang hanya ada di kepala. Berasal dari buku-buku bacaan yang tidak juga dimasukkan Dalam diri untuk kemudian dipraktekan. Rasanya semua itu tak ada gunanya.

Sebenarnya aku berniat untuk menuliskan mengenai hal-hal yang kuanggap subtansial saat aku ngobrol dengannya. Namun tiba-tiba aku tersadar kalau secara pribadi aku tidak bisa konsisten dengan apa yang aku bicarakan. Maka tidak sepantasnya orang bicara tinggi-tinggi tanpa dibarengi dengan konsistensi.

Konsistensi adalah masalah membangun kepribadian. Kepribadian dibentuk dari lingkungan dan juga pola asuh keluarga. Sebanyak apapun buku yang dibaca dan guru saat dewasa tidak menjamin perbaikan jika pola asuh dan lingkungannya buruk. Dan kali ini aku merasa diriku berada di ujung itu semua. Diawali dengan pola asuh dan lingkungan yang buruk, kemudian aku banyak bertindak buruk dan mengecewakan banyak orang. Setelah itu aku mulai memiliki kesadaran akan diriku. Bahwa apa yang menjadi pribadiku adalah hasil dari lingkungan masa lalu. Meski aku hari ini berada dengan banyak buku dan guru yang baik, tapi tidak mudah untuk memilih menjadi pribadi baru. Sebab hal itu tidak seperti mengganti pakaian baru. Rasanya seperti harus mengosongkan jiwa dan memurnikannya. Lalu kemudian mengisinya dengan hal-hal baru yang lebih baik.

Sebenarnya aku juga banyak merenunggkan hal-hal yang berkaitan dengan politik, budaya dan juga agama. Namun aku juga selalu bertanya, “apakah aku pantas mengatakan itu semua? Dengan pribadiku yang seperti ini”. Dan aku sendiri juga menjawabnya, “rasanya tidak”.

Komentar