Kesendirian di Balik Layar

Jam 12 tadi aku ke dapur. Karena tidak ada lauk di dekat westafel, akhirnya aku masak telur dan membuat sambel. Ku ambil dua butir telur di dalan kulkas dengan niatan untuk makan dua orang. Namun setelah aku selesai masak dan siap untuk membawa dua porsi besar nasi untuk makan bersama teman, tiba-tiba Mas Zen datang dan menawarkan lauk di meja makan. Aku malah jadi bingung harus bagaimana.

Sambil persiapan membuat roti Maryam mas Zen bilang.

"Cetak-cetekbtak kiro sopo wan-wan?"

"Hehehe" aku cuma cengengesan.

Kuputuskan untuk memandangi bagaimana Mas Zen membuat roti Maryam supaya aku nantinya bisa membuat sendiri. Kemudian kami sama-sama makan di teras tengah.

Mas Zen bertanya mengapa aku tidak jadi pergi ke Cilacap. Kukatakan bahwa ternyata aku salah melihat tanggal. Acara yang kukira adalah tanggal 28 ternyata malah tanggal 26 September. Entah sebegitu parahnya mataku, atau memang aku sendiri yang kurang teliti.

Sambil makan kami ngobrol soal teman-teman Jogja yang belum menikah, kemudian Mas Zen membicarakan Syekh Yunus, dan dengan tidak sengaja menanyakan mengenai Kang Sahal. Orang bernama Sahal ini merupakan orang yang saat pertama bertemu aku merasa dia bukan orang biasa. Ada banyak keistimewaan yang dia milikki yang bahkan dengn hanya merasakan hawanya. Dan obrolan mengenai Kang Sahal membawa Mas Zen untuk membicarakan keluarga Kajen.

-Pondok Kajen adalah Pesantren yang awal aku begitu mengaguminya saat melihat para alumninya di Jogja. Perasaan kagum itu ada bahkan saat aku belum tahu kalau Mas Zen adalah cucu dari Mbah Dullah Salam. Pondok kajen juga berhasil menggeser mengenai pondok yang ideal dalam pandanganku yang tidak begitu santri ini. Dahulu semasa di MAMNU aku mengganggap pondok yang ideal adalah Gontor Ponorogo. Namun setelah aku kenal dengan beberapa alumni pondok Kajen, pandangan itu bergeser. Sebab aku lebih merasa ada kesambungan frekuensi dengan para alumni dari Kajen.-

Mas Zen bilang kalau kebanyakan dari Tokoh Kajen sering lebih suka bergerak di balik layar. Mereka tidak suka tambil ke publik sebagi sebuah person yang perlu untuk Show up. Namun pada akhirnya beliau dikenal dan menjadi mashur. Teladan seperti itu dimulai dari KH Abdullah Salam dan berlanjut ke anak cucunya. Semakin kufikirkan, hal tersebut semakin menyentuh diriku. Sebab selama ini aku masih terlalu ingin tampil dan menunjukkan eksistensi. Keadaan itu dibuktikan saat aku masih merasa tergelitik saat melihat orang yang dulu belajar dariku saat ini bisa tampil di media. Sedangkan aku saat ini berada dalam fase keterlambatan dan tidak adanya kesempatan.

Padahal yang menjadi inti dari semua itu bukanlah soal tampil atau tidaknya diri, tapi lebih pada soal manfaat atau tidak. Untuk apa tampil jika tidak memberikan manfaat, tapi yang lebih parah ialah tidak tampil dan juga tidak bermanfaat.

Eksistensi dalam menjadi bagian dari pertunjukan memang begitu membius, dan aku masih belum bisa keluar dari rangsangan itu. Pada akhirnya aku harus melatih diri untuk sendiri. Tidak terobsesi untuk tampil dan mendapatkan apresiasi. Ini berat, tapi aku bisa melakukanya. Aku harus melakukannya, sebab inilah pilihanku. Setidaknya itu untuk saat ini dan dalam kondisi seperti ini. Cerita mas Zen mengenai keluarga Kajen tadi menasehatiku bahwa, untuk berperan tidak harus muncul di permukaan. Semua orang bisa bermanfaat dengan kondisi yang dijalani masing-masing.

Tak usah berpikir menjadi manusia yang baik dan bermanfaat. Cukup jalani saja apa yang menjadi peran kita saat ini dan itulah perjuangan. Seperti sungai yang mengalirkan air, seperti gunung yang menyimpan cadangan oksigen, seperti cacing yang menyuburkan tanah, seperti pohon yang menumbuhkan buah, seperti bakteri yang mengurai bangkai, seperti ayam yang bertelur, dan seperti burung yang berkicau. Saat semua menjalankan perannya sendiri, maka itulah kebaikan.

Tapi sebagai manusia, kita mestinya harus bertanya kepada diri sendiri untuk bisa menjalankan perannya, dan pertanyaan itu ada saat kita sedang sendirian. Sendirian dalam hal ini bukanlah kesepian, juga bukan karena tak ada orang lain di samping kita. Tapi saat kita berkomunikasi dengan diri sendiri.

Komentar