Aku Orang Introvert

Hingga saat ini aku menyimpulkan bahwa diriku adalah orang yang introvert. Suka menyendiri dan lebih nyaman dengan kesendirian. Kebersamaanku biasanya tidak terkontrol. Saat bersama orang baik itu hanya ngobrol, atau bahkan sampai guyonan rame-rame. Aku merasa kehilangan diri di sana. Saat ini mungkin aku berada pada diriku yang sebenarnya. Namun pada saat seperti itu juga aku malah merasa bahwa hidupku terbelenggu. Aku tidak bebas. Aku malah seperti terjun bebas, tanda kendali pada diriku sendiri. Hingga kemudian aku merasa ada yang sakit saat diriku menapak.

Aku tidak tahu apakah diri yang introvert ini merupakan bawaan genetik atau hasil dari dialektika lingkungan. Tapi jika harus menyimpulkan sendiri semua itu, aku akan menganggap hal ini sebagai genetik. Yang menurutku hasil dari dialektika lingkungan adalah perasaan dendam yang sampai saat ini kubawa.

Aku bisa mengingat dengan detail mengenai bagaimana aku dilecehkan oleh saudaraku sendiri di rumah. Dibiarkan kelaparan dan kemudian akan di masukkan sumur jika tidak berhenti menangis. Aku tidak pernah bisa melupakan kejadian itu, dan sepertinya tidak akan pernah. Waktu bisa terus berlalu, keadaan bisa berubah, tapi tidak untuk rasa sakit. Saat ini mungkin tahapanku masih dalam rangka mengatasi rasa sakit itu.

Mengatasi perasaan itu tidak semudah hanya dengan bilang ikhlas dan sabar. Sebab ada trauma yang tidak bisa hanya diobati dengan kata, atau bahkan dengan doa. Rasanya lebih mudah untuk memberikan jutaan uang dari pada mengikhlaskan trauma jiwa di waktu kecil. Tapi toh saat ini aku tak memiliki uang jutaan, dan juga tidak mampu mengikhlaskan trauma itu. Jadi mungkin keadaan ini terlalu menjengkelkan untuk dilalui.

Dahulu saat rasa trauma ini muncul aku berpikir bahwa perasaan ini aku membaik seiring berlalunya waktu. Namun nyatanya perasaan trauma itu hanya bisa hilang pada momen tertentu. Dia tidak benar-benar hilang. Hanya sekedar mengendap di alam bawah sadar sebab tertumpuk oleh data-data yang baru. Kemudian tanpa diduga trauma itu muncul. Seperti apa yang banyak terjadi dalam bahaya laten.

Atau memang sesungguhnya perasaan trauma itu tidak bisa dihilangkan. Dia hanya bisa diimbangi dengan kenangan baru yang lebih positif. Kenangan atau tambahan data positif itu bisa didapat dari agama dan juga hubungan yang baik dengan orang lain. Bisa jadi mungkin solusi paling kongkret dari perasaan trauma ini adalah, berbicara langsung dengan yang bersangkutan. Tapi aku tidak akan melakukannya. Sebab hubungan ini sudah sangat tidak setara bagiku, dan juga aku menganggap bahwa hari ini kita adalah orang yang tahu sama tahu. Membahasnya kembali malah akan membuat konflik yang lebih besar.

Saat ini mungkin aku akan fokus pada dunia introvertku. Aku akan melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku tidak peduli lagi dengan masa depan. Aku tak ingin memikirkan soal bagaimana aku nanti akan menikah dan berkeluarga. Aku ingin menyembuhkan diriku sendiri. Aku tidak akan kalah dengan trauma ini.

Sebenarnya ada puluhan kejadian lagi yang masih tetap kuingat dengan rasa trauma dan juga dendam. Dimulai dengan keluarga, lingkungan, dan juga di sekolah. Peristiwa-peristiwa itu tersimpan detail dalam ingatanku. Mungkin semua ini harus aku mulai dengan doa. Dimulai dengan doa memohon ketenangan batai untuk diriku sendiri, dan kemudian mendoakan mereka yang masih tersimpan dalam trauma hidupku. Semoga Tuhan yang maha bijaksana memudahkan jalanku. Amiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"