Khotbah Jum'ah di Masjid Sebelah Kost

Tentang Pengalaman Jumatan yang Khotib-nya Bikin Jengkel

Hidup adalah perjalanan kita dari satu hari Jum’at ke hari Jum’at berikutnya. Hari jumat juga terasa beda karena harus diisi dengan melakukan shalat Jum’at di masjid. Tidak boleh melakukan shalat sendiri. Shalat Jum'at di masjid lebih sedikit ketimbang shalat rakaatnya. Namun tetap dibarengi dengan adanya khotbah Jum’ah. Jika  khutbahnya cukup singkat, maka beruntunglah kita. Tapi jika khutbahnya lama, maka biasanya hawa ngantuk akan menyerang dengan kuat. Beruntunglah mereka yang datang tepat pada saat khotbah kedua, atau menjelang shalat jum’at. Sebab bisa langsung shalat Jum’at dua rakaat. Begitu sudah cukup menggugurkan kewajiban. Juga jauh dari musibah kehilangan sepatu atau sandal. Karena dia akan berpotensi pulang lebih dulu dan tidak ikut sibuk mencari sandal.

Sewaktu kecil dulu aku enggan untuk masuk di dalam masjid saat shalat Jum’at. Alasan pertama sebab aku lebih tertarik ngobrol dengan teman-teman, atau kadang bermain. Alasan kedua yang juga penting adalah, aku tidak tahan dengan bau minyak wangi yang cukup menyengat jika berada di dalam masjid.  Apa lagi jika harus berada di ruangan paling dalam.

Saat dewasa kecenderungan itu tidak banyak berubah. Ternyata godaan untuk malas beribadah lebih besar dari pada saat kecil. Apalagi ketika aku kuliah di Jogja. Satu moment yang membuat mulai mempertanyakan banyak hal. Aku janggal ketika dijelaskan dalam hadits nabi. Jika saat khotib berbicara, maka kita tidak boleh bicara. Angsitu wasmau waati’u, diam, dengarkan dan taatilah. Kita dituntut menjadi pihak yang pasif dan harus menurut.

Hal itu bisa diterima jika yang khotbah adalah ulama yang mengutamakan hadis nabi dan ayat Alqur’an dalam penyampaiannya. Tapi ada saja khotib yang mengutamakan interpretasinya sendiri pada sebuah ayat ataupun hadis, dan digunakan atas nama ormas tertentu dengan frasa sentimen kepada ormas lain. Atau yang lebih parah lagi jika khotbah jumat digunakan untuk orasi politik. Membela kubu tertentu dan menyalahkan kubu politik lain.

Kejadian ini cukup masif terjadi beberapa tahun belakangan. Di mulai saat kasus penistaan agama yang dilakukan Gebunur Jakarta, kemudian berlanjut dengan tahun politik di 2019.

Saat mendengar khutbah yang seperti itu aku membatin kepada khotibnya.

“Pak-pak, kalau anda bicara soal hadist nabi dan ayat-ayat Al-Qur’an, saya bisa khusu’ mendengarkan. Tapi kalau anda bicara mengenai politik, ideologi dan juga konflik sosial, itu tidak bisa diterima. Sebab itu adalah hal yang harusnya diperdebatkan di ruang publik mengenai kebenaran dan kesalahannya. Tidak bisa menjadi monopoli kebenaran Khotib”

Ada juga kejadian yang menurutku lebih parah. Yakni saat aku jumatan di masjid dekat kost-kosanku. Saat itu yang khotbah seperti seseorang yang berasal dari dimensi lain. Seperti bukan orang dari ormas utama di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Dalam khutbahnya dia bicara bahwa orang Islam tidak boleh  Taklid, apa lagi hanya mengikuti aturan yang dibuat oleh Imam Syafi’i. Dia mengkhotbahkan bahwa Imam Syafi’I juga manusia dan dia layak untuk dikritik. Mendengar hal itu aku menganggap bahwa ucapannya cukup keterlaluan. Sebab bagiku sebagai orang yang dibesarkan dengan madzhab Syafi’I, Percaya kepada ditentuan hukum yang dibawa imam Syafi’I tidak hanya tentang kapasitas ilmunya, tapi juga mengenai ke-Zuhud-tan dan kehati-hatiannya dalam menentukan hukum.

Ada banyak orang alim di masa sekarang ini, pandangan agama juga sudah cukup luas. Namun mereka yang benar-benar alim pasti akan berprasangka baik pada Imam Syafi’i.

Hal terakhir yang menjengkelkan dari orang itu adalah saat dia berdoa. Dalam doanya dengan bahasa arab dia meminta pertolongan dan perlindungan Allah untuk negara Syria, Maroko, Tunisia, dan juga Palestina. Tapi dia tidak memintakan hal itu untuk Indonesia. Seolah-olah di Indonesia tidak ada orang Islam yang baik yang layak untuk diberi pertolongan dan perlindungan Allah. Padahal dia Mendoakan negara. Dalam hati aku berprasangka “jangan-jangan dia tidak menganggap Indonesia sebagai negara”.

Padahal dia Adalah warga negara Indonesia juga. Hidup di Indonesia, berhubungan dengan warga Indonesia, makan juga dengan hasil bumi Indonesia, tapi dia tidak menunjukkan rasa cinta dan pedulinya kepada Indonesia dalam doanya.

Malam Nya kemudian saat aku ngopi dengan tetangga kost, dia bilang: “eh, yang khutbah Jum’at kemarin kok doa panjang mengenai Palestina, Syria, dan Maroko. Tapi sama sekali tidak menyebutkan Indonesia ya?”. Aku tersenyum dan bilang bahwa aku juga memikirkan hal yang sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"