Singkronisitas semesta


Tidak mudah untuk jujur dengan diri sendiri. Tidak di depan orang lain maupun dalam kesendirian kita masing-masing. Namun ketika dalam persoalan itu saja kita gagal, maka kita tidak akan sampai pada penemuan pada jati diri kita masing-masing. Sebagaimana kita berkisah mengenai kedaulatan yang mestinya kita bela selama ini. Tapi apa itu kedaulatan? Bukanlah tidak ada orang yang bersih dari tekanan dan juga intervensi dari pihak yang berada di luar dirinya. Dan apakah mereka yang tidak berada dalam tekanan di luar dirinya bisa dikatakan berdaulat atau merdeka? Jangan-jangan mereka malah terbelenggu oleh dirinya sendiri. Oleh pemikiran dan angan-angannya, juga mungkin oleh pergulatan mengenai ingatan masa lalu dan kebingungan masa depannya.

Ada seorang tokoh penyair yang sampai saat ini masih saya kagumi perannya untuk bangsa ini. Beliau pernah berucap dalam puisinya  “kita tidak pernah tahu mengapa kita ada, dan setelah kita ada, kita tidak tahu kapan kita akan tiada.” Maka satu-satunya tempat kita bergantung dan bersandar adalah dia sang maha ada, buka yang lain. Tapi rasanya hal itu tampak sulit. Apalagi untuk ukuran manusia seperti saya ini. Sebagaimana hati yang sering berbolak-balik dan juga bergejolak, pribadi yang minim dimensi spiritualitas amat sulit untuk menghayati makna kedaulatan apabila dihubungkan dengan ketetapan iman. Tapi mungkin, sekurang-kurangnya kita yang imannya naik turun ini masih memiliki niat hati untuk kembali ketimbang terus-terusan MBELAKRAK tak tahu arah.

Kedaulatan iman adalah kedaulatan tingkat tinggi. Bila harus berperang, maka perangnya adalah melawan diri sendiri. Pertaruhannya adalah makna hidup kita sendiri, dan jika orang telah kalah dalam pertarungan melawan dirinya sendiri, maka dia berada dalam kehinaan. Tidak sama halnya jika dibandingkan dengan berperang melawan musuh yang menjajah, karena di sana kalah menang akan sama-sama bermakna.

Berperang dengan diri sendiri membutuhkan senjata bernama ilmu dan membutuhkan akomodasi bernama kelapangan jiwa. Kemenangannya tidak akan menjadi berita utama sebuah media. Barang kali kemenangan dari perang melawan diri sendiri adalah kerendahan hati dan juga bertambahnya kelapangan jiwa. Kemerdekaan atas diri sendiri ini juga tidak perlu untuk diproklamirkan, apa lagi dimonumenkan agar menjadi arsip sejarah. Kemenangannya akan lebih terasa sebagai kesadaran.

Namun bagaimana jika kita dituntut untuk bicara soal kedaulatan dalam konteks sosial dan juga negara. Ini mungkin lebih sederhana persoalannya jika dibandingkan dengan urusan kedaulatan diri, tetapi tidak mudah. Sebab kedaulatan sosial politik mengharuskan kita untuk mandiri tidak bergantung pada mereka. Kita juga mesti siap pada tekanan yang datang dari mereka. Maka kedaulatan sosial dan politik itu akan lebih baik jika dikembalikan lagi pada kedaulatan yang sifatnya pribadi.  Dengan kita mampu untuk membawa kesadaran kita pada pribadi yang berdaulat, maka hal itu akan menjadi bekal untuk kita membangun kedaulatan dalam tingkat sosial dan juga politik.

Saat ini pun aku tengah memulai dengan diriku sendiri, dan kusadari bahwa diriku masih jauh dari kedaulatan atas diri. Rasanya masih cukup lemah untuk menang berperang melawan diri sendiri. Rasanya aku masih saja kalah dalam melawan rasa malas, minder dan juga rasa tidak enak terhadap pihak lain. Bahkan dalam urusan dengan yang maha ada pun rasanya diri ini masih setengah hati. Semoga tulisan ini benar-benar dibuat oleh diriku sendiri, dan untuk diriku sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"