Singkronisitas semesta
Ada seorang tokoh
penyair yang sampai saat ini masih saya kagumi perannya untuk bangsa ini.
Beliau pernah berucap dalam puisinya
“kita tidak pernah tahu mengapa kita ada, dan setelah kita ada, kita
tidak tahu kapan kita akan tiada.” Maka satu-satunya tempat kita bergantung dan
bersandar adalah dia sang maha ada, buka yang lain. Tapi rasanya hal itu tampak
sulit. Apalagi untuk ukuran manusia seperti saya ini. Sebagaimana hati yang
sering berbolak-balik dan juga bergejolak, pribadi yang minim dimensi
spiritualitas amat sulit untuk menghayati makna kedaulatan apabila dihubungkan
dengan ketetapan iman. Tapi mungkin, sekurang-kurangnya kita yang imannya naik
turun ini masih memiliki niat hati untuk kembali ketimbang terus-terusan MBELAKRAK
tak tahu arah.
Kedaulatan iman
adalah kedaulatan tingkat tinggi. Bila harus berperang, maka perangnya adalah
melawan diri sendiri. Pertaruhannya adalah makna hidup kita sendiri,
dan jika orang telah kalah dalam pertarungan melawan dirinya sendiri, maka dia
berada dalam kehinaan. Tidak sama halnya jika dibandingkan dengan berperang
melawan musuh yang menjajah, karena di sana kalah menang akan sama-sama
bermakna.
Berperang dengan
diri sendiri membutuhkan senjata bernama ilmu dan membutuhkan akomodasi bernama
kelapangan jiwa. Kemenangannya tidak akan menjadi berita utama sebuah media.
Barang kali kemenangan dari perang melawan diri sendiri adalah kerendahan hati
dan juga bertambahnya kelapangan jiwa. Kemerdekaan atas diri sendiri ini juga
tidak perlu untuk diproklamirkan, apa lagi dimonumenkan agar menjadi arsip
sejarah. Kemenangannya akan lebih terasa sebagai kesadaran.
Namun bagaimana
jika kita dituntut untuk bicara soal kedaulatan dalam konteks sosial dan juga
negara. Ini mungkin lebih sederhana persoalannya jika dibandingkan dengan
urusan kedaulatan diri, tetapi tidak mudah. Sebab kedaulatan sosial politik
mengharuskan kita untuk mandiri tidak bergantung pada mereka. Kita juga mesti
siap pada tekanan yang datang dari mereka. Maka kedaulatan sosial dan politik
itu akan lebih baik jika dikembalikan lagi pada kedaulatan yang sifatnya
pribadi. Dengan kita mampu untuk membawa
kesadaran kita pada pribadi yang berdaulat, maka hal itu akan menjadi bekal
untuk kita membangun kedaulatan dalam tingkat sosial dan juga politik.
Saat ini pun aku
tengah memulai dengan diriku sendiri, dan kusadari bahwa diriku masih jauh dari
kedaulatan atas diri. Rasanya masih cukup lemah untuk menang berperang melawan
diri sendiri. Rasanya aku masih saja kalah dalam melawan rasa malas, minder dan
juga rasa tidak enak terhadap pihak lain. Bahkan dalam urusan dengan yang maha
ada pun rasanya diri ini masih setengah hati. Semoga tulisan ini benar-benar
dibuat oleh diriku sendiri, dan untuk diriku sendiri.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya