Tentang NGO Yang Menyoal Pemakaian Jilbab Pada Anak
Dulu semasa kuliah dan ikut di organisasi
pergerakan, saya cukup bangga dengan orang yang bekerja di LSM atau NGO. Bagi
saya mereka tidak hanya orang yang bekerja, tapi juga memperjuangkan kehidupan
orang lain, yang bahkan itu bukan keluarganya. Dalam hati ada juga sedikit
keinginan saya untuk suatu saat bisa bekerja di NGO. Saat ada orang yang
memandang NGO sebelah mata, terutama dalam soal pendanaan, saya tidak begitu
peduli. Sebab saya pikir hal itu sama dengan mode bisnis lain. Sebagai mana vestifal
musik yang disponsori oleh merek rokok, atau juga seperti klub sepal bola yang
disponsori oleh brand tertentu. Jika pun kegiatan HGO tersebut menggunakan dana
CSR dari corporasi besar juga tidak ada salahnya.
Namun belakangan, seiring bertambahnya bacaan
dan wawasan mengenai filsafat, politik dan juga ekonomi saya juga bisa mengerti
mengapa ada banyak orang juga mencibir dengan yang namanya NGO. Sebab pada
dasarnya ini bukan hanya soal satu lembaga saja. Ada banyak hal yang
mempengaruhi sebuah lembaga yang bukan atas nama negara itu untuk bergerak.
Mulai dari pemikiran anggotanya sendiri, dorongan dari lembaga donor, dan
sampai kelompok yang mempengaruhi lembaga donor tersebut. Sebuah relasi kuasa
yang cukup mudah untuk di tebak ke mana arahnya. Sebagaimana kita sering
melihat sebuah stasiun televisi milik ketua partai tertentu yang menjadi bagian
dari agitasi dan propaganda politiknya.
Seorang wartawan atau reporter yang bekerja di
media itu mungkin orang yang sangat profesional dan objektif. Mereka mungkin
juga menganggap bahwa media pers ini adalah bagian dari pilah demokrasi. Namun
idealisme seperti itu akan pas jika berada dalam kondisi ideal. Jika ternyata
kondisinya penuh dengan monopoli dan oligarki, maka idealisme seperti itu malah
akan ditunggangi oleh pihak lain.
Begitu juga dengan sosok yang bekerja NGO. Mungkin mereka adalah orang yang
sungguh-sungguh bekerja memperjuangkan gagasannya, dan saya tahu niat mereka
baik. Tapi kadang mereka tidak sadar bahwa struktur yang di atas mereka
memanfaatkan perjuangan mereka untuk menjatuhkan kelompok, institusi atau
bahkan lembaga bisnis tertentu yang belum tentu salah.
Suatu hari saya cukup kesal dengan sebuah
vidio di Twitter. Ada sebuah NGO yang mengkampanyekan mengenai kebebasan
memilih untuk berjilbab atau tidak berjilbab. Mereka mengekspose tentang
keluarga atau yang memakaikan jilbab kepada anaknya. Menurut mereka, hal
seperti itu bisa membuat membuat mereka tidak memiliki kemerdekaan untuk
memilih apakah dalam hidupnya dia akan memakai jilbab atau tidak saat kelak
mereka dewasa.
Hal seperti ini lucu menurut saya. Sebab hal
seperti itu seharusnya menjadi otonomi orang tua, dan keputusan orang tua untuk
memberikan anaknya jilbab, atau bahkan cadar sekali tidak harus dipermasalahkan
oleh orang lain. Perkara kemudian ada lingkungan yang enggan dengan orang yang
berjilbab, hal itu memiliki dinamikanya sendiri di wilayah sosial. Yang salah
itu ketika ada orang tuang yang mengajarkan untuk mencuri barang milik temannya.
Atau orang tuang yang mengharuskan anaknya untuk membully anak lain. Saya kira
keputusan orang memakaikan jilbab ke anaknya tidak merugikan anaknya, dan juga
anak orang lain.
Saya pernah melihat persoalan mengenai
pemaksaan memakai jilbab pada anak perempuan pada sebuah film Amerika. Dalam
film itu menceritakan mengenai orang tua muslim yang kolot dan tidak bisa
membaur dengan lingkungan. Yang terjadi adalah, sang anak perempuan tersebut
hanya memakai jilbab jika di depan ayahnya. Saat ayahnya sudah selesai
mengantarkan mengantarkannya ke kampus dan berangkat bekerja, sang anak melepas
jilbabnya. Jika melihat dari film ini, saya kira gagasan mengenai hal tersebut
mungkin cocok untuk dikampanyekan di daerah yang liberal. Atau mungkin hal
seperti ini sebenarnya memang tidak cocok di kampanyekan di mana pun.
Secara pribadi saya juga memiliki asumsi yang
cukup buruk dengan kampanye itu. Saya membayangkan, jika pada saat ini terjadi
kampanye mengani kebebasan seorang anak untuk memilih memakai jilbab atau tidak,
mungkin suatu hari nanti akan ada kampanye mengenai kebebasan anak untuk
memilih agamanya sendiri. Jadi ketika ada orang Islam melahirkan, akan
disarankan untuk tidak diazdani dan diiqomati terlebih dahulu. Biarlah dia
nanti merdeka memilih agamanya saat dewasa. Jujur saja, itu bukan hal yang akan
saya tolak mentah-mentah.
Seharusnya zaman ini kata menjadi sama-sama
tahu bahwa istilah “pilihan bebas” itu sangatlah bias, atau bahkan hanya klise.
Saat ini memang banyak orang membuat pilihan tanpa perlu di todong dengan pistol
di kepalanya. Tapi di balik sebuah produk
yang dia pilih terdapat banyak algoritma mengenai, iklan, kampanye,
propaganda, dan bahkan harapan. Jika yang dimaksud kebebasan memilih adalah
tidak adanya ancaman secara fisik, maka hal itu benar. Tapi sangat jelas bahwa
hidup kita dijejali dengan iklan, propaganda yang secara sadar atau tidak sadar
kita ikuti.
Saya kira orang tua yang memakaikan jilbab
kepada anaknya saat kecil merupakan sebuah harapan bahwa kelak dewasa dia akan
dengan suka rela memakai jilbab. Saya menganggapnya sebagai harapan sebab hal
itu tidak menjamin kepastian. Sebagaimana masa kecil kecil saya dipaksa untuk
berangkat ngaji di TPA saat sedang asik bermain layangan di sore hari. Biasanya
orang tua datang dengan membawa sebatang kayu yang siap untuk dipukulkan di
pantat.
Ingatan seperti itu pada akhirnya membuat saya
merenungi tentang bagaimana saya diharapkan saat dewasa nanti. Apalagi ketika
jauh dari orang tua dan sudah harus membuat keputusan sendiri. Mungkin kita
pernah memberontak dan memutuskan melenceng jauh dari yang sudah diajarkan di
rumah saat kecil. Tapi merenungi kembali apa yang diajarkan pada kita saat
kecil, merupakan bagian dari cara kembali.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya