NGALOR-NGIDUL

Hidup adalah menunda kekalahan

Ungkapan terakhir dari puisi Derai-Derai Cemara karya Bung Chairil Anwar itu memang luar biasa. Tidak hanya mewakili perasaan, namun juga nyambung dengan benak pikiran kita. Mungkin memang begitulah lazimnya sebuah puisi mengungkapkan maksudnya. Sebab sebuah puisi tidak hanya soal kata-kata lugas dan cerdas, tapi juga menyentuh. Namun jika puisi hanya bergelut dengan perasaan dan tidak dibarengi dengan kekuatan nalar, ia akan tampak mendayu. Tidak “gagah berdiri”.


Jaman ini juga banyak lagu pop yang begitu melayu. Yang mengungkapkan kisah cinta dengan nada yang mendayu-dayu. Namun sebagian musisi membuat lagu perpisahan dengan gagah dan tidak cengeng. Jika harus memilih, maka aku akan lebih suka dengan lagu perpisahan yang elegan dan tampak gagah. Tidak
menye-menye apa lagi sampai terkesan Ambyar. Meskipun kita juga tetap tak bisa membohongi rasa sakit tersebut.

Ngomong-ngomong soal Ambyar. Aku merasa hatiku cukup terguncang akhir-akhir ini. Sebab ada orang yang menghubungiku dengan maksud untuk bercerita mengenai kekasihnya yang baru. Entah kenapa pada suatu pagi dia mengirim kata-kata yang kemudian dia lanjutkan dengan cerita dirinya bersama orang lain sekarang. Sebenarnya, jika pun dia tidak menceritakan hal itu aku sudah cukup bisa menduganya. Sehingga cerita itu lebih berupa penegasan dirinya dengan siapa dia saat ini.

Aku menanggapinya dengan mengatakan sebuah pelajaran yang aku terima belakangan ini. Bahwa sebagian orang akan tetap kawin beranak dan bahagia [1]dengan orang yang tidak dia harapkan sejak awal. Barang kali memang benar apa yang dikatakan oleh mbah Sujiwo Tejo. Bahwa “menikah adalah soal nasib, sedangkan cinta adalah soal takdir, kau bisa merencanakan pernikahanmu, namun kau tidak bisa merencanakan citamu pada siapa”. Tapi dia menanggapi jawabanku dengan kurang yakin bahwa dia akan menikah dengannya. Entah apakah dia masih trauma dengan kisah cinta yang kita alami, atau dia sebenarnya sudah yakin tapi enggan untuk mengungkapkannya dengan orang lain. Kurasa alasan yang kedua lebih masuk akal untuknya.

Kenapa harus berujung pada pernikahan?

Sebab itu adalah kelengkapan dari cinta. Cinta yang dijalani tanpa pernikahan adalah cinta yang rapuh. Mungkin ada orang yang akan mendebat soal ini. Sebagaimana orang mendebat soal agama yang tidak sama dengan spiritualitas, soal kecerdasan yang tidak sama dengan kebijaksanaan, dan memang pernikahan juga tidak sama dengan cinta. Tapi spiritualitas yang tidak dibarengi dengan ritual agama layaknya damar yang tidak tertutup oleh kaca. Ia akan mudah diombang-ambingkan oleh angin dan punya potensi besar untuk redup. Begitu juga dengan laku bijaksana yang tidak dibarengi dengan pengetahuan yang banyak, maka akan sangat mudah digugat.

Maka menurutku kita tidak boleh hanya berfokus pada cinta, tapi juga memiliki fokus pada pernikahan. Bahkan dalam pernikahan yang oleh sebab keterpaksaan, atau perjodohan keluarga pun akan timbul cinta. Sebab memang tidak semua orang menikah dengan orang yang bisa dia cintai sejak awal. Sebagaimana yang kukatakan di atas. Sebab aku menduga menikah bukan hanya soal cinta dan memilih bahagia. Dalam sudut pandang lain, menikah juga soal memilih rasa sakit. Mulai dari memilih untuk menyiapkan kebutuhan material, mempertemukan dua keluarga, dan juga menghadapi aneka persoalan sosial yang ruwet, atau bahkan njlimet.

Sejak dulu kita sudah diberi tahu oleh pepatah, bahwa untuk dapat berenang ke tepian kita harus berakit-rakit ke hulu. Atau dalam pepatah Inggris mengatakan No Pain No Gain. Keduanya bermakna sama. Bahwa untuk dapat mencapai kebahagiaan kita harus siap dengan penderitaan di awal. Kurasa akan lebih baik juga dari awal kita memilih penderitaan yang kita jalani, dan meskipun banyak hal tidak menyenangkan di sana, kita masih tetap berusaha untuk menikmati proses itu. Dalam penderitaan itulah kita juga akan menemukan kebahagiaan. Ketika kita sampai pada sebuah pencapaian, kita akan merasa saat-saat sulit itu tampak sebagai sesuatu yang bermakna.

Lalu bagaimana dengan merelakan masa lalu?

Masa lalu adalah sejarah. Saat sesuatu hal sudah terjadi, sebenarnya ia menjadi hal yang paling jauh dalam hidup kita. Sayangnya ada banyak hal yang sulit dilupakan di masa lalu. Ada hal yang bisa dengan kuat melekat, dan bahkan sampai membelenggu. Dalam taraf yang aku, hal itu tidak hanya melemahkan jiwa kita, tapi juga menghancurkan kita di hari ini dan masa depan.

Sampai hari ini aku pun masih banyak mengingat hal tidak menyenangkan di masa lalu. Tentang keluarga yang berantakan, tentang masa sekolah yang toxic dan juga hubungan yang penuh dengan “drama bodoh”.

Mengapa aku masih bisa mengingatnya? Sebab aku masih memiliki mentalitas sebagai korban, dan itu sulit untuk diubah.

Aku masih saja merasa bahwa aku adalah korban dari semua hal aku lalui sejak kecil, yang kebanyakan adalah hal-hal yang kuterima sebagai keniscayaan. Aku tidak memiliki kendali untuk memilih apa dan bagaimana seharusnya aku diperlakukan. Dari kondisi itu aku kemudian menyalahkan banyak hal di luar diriku sebagai penyebab penderitaanku saat ini. Kemudian aku malah lupa untuk lebih mengevaluasi diri dan belajar lebih baik.

Mentalitas korban membuat diriku tidak punya kehendak untuk segera berubah dan hanya mengutuk yang telah berlalu. Menghujat pasangan yang selingkuh, mengutuk saudara yang egois, teman yang oportunis, dan banyak hal yang sebenarnya aku mungkin juga bersalah atasnya. Meski pada akhirnya aku sadar jika semua itu tak ada gunanya, aku tetap saja enggan untuk berubah maindset itu.

Bahkan suatu hari saat aku di rumah, aku berniat untuk menumpahkan semua emosiku pada keluargaku. Tapi hal itu tak jadi kulakukan, sebab aku melihat keadaan di rumah tampak “lebih buruk” dari sebelumnya. Dalam keadaan itu perasaan sayangku dengan keluarga pun muncul dan menggagalkan sumpah-serapah yang sejak lama ingin kutumpahkan.

Kini aku sudah mulai berupaya untuk tidak lagi berpikir sebagai korban dalam banyak hal. Kusadari bahwa di sebagian besar kejadian dalam hidupku adalah juga kesalahanku. Juga pada banyak hal buruk hal hanya bisa aku terima. Aku anggap itu adalah sesuatu yang harus aku pelajari dan atasi. Saat aku pulai paham bahwa hidup tidak hanya soal memilih dan menerima jalan kebahagiaan, tapi juga rasa sakit. Aku mulai menganggap bahwa semua ini adalah rasa sakit yang harus aku hadapi.

Mulainya aku mengukur diri, dan mengukur orang lain.



Setiap orang memiliki nilai-nilai yang mereka buat ukuran atas dirinya dan orang lain. Kadang ukuran itu dibuat sama, dan lebih sedikit yang berbeda. Saat orang mengukur nilainya begitu tinggi, dia akan mengalami banyak masalah ketersinggungan saat berhadapan dengan orang yang menetapkan standar rendah. Sedangkan orang yang berstandar rendah untuk dirinya dan orang lain, dia akan diremehkan oleh orang lain. Yang ideal adalah, ketika orang menetapkan nilai yang tinggi atas dirinya, dan membebaskan orang lain atas nilanya masing-masing.

Hal ini terakhir tampak bijaksana dan indah untuk dikatakan. Namun dalam prakteknya sungguh terasa sangat membutuhkan keluasan hati. Manusia memiliki ego, dendam dan juga logika yang mapan dalam hal timbal balik. Ketika dia memberikan nilai lima pada orang lain, maka dia juga harus mendapatkan lima dari yang dia beri. Padahal faktanya tidak selalu begitu. Ada masa ketika aku memberikan delapan dan hanya diberi dua. Namun pada kesempatan lain aku merasa diberi sembilan saat aku hanya bisa memberikan satu.

Hari ini aku mulai berupaya menerima nilai yang diberikan orang lain sesuai dengan kemampuan atau bahkan keinginannya. Sebab memang, nilai yang dia tetapkan pada orang lain beda denganku. Saat SMS-ku diabaikan, saat ada teman yang tidak mengakui peranku, atau bahkan saat temanku sendiri menyudutkan diriku untuk mengamankan dirinya. Semua hal itu mulai belajar untuk kuterima. Terkadang bisa dengan lapang dada, kadang juga dengan perasaan kecewa. Yang jelas aku tidak akan mengungkitnya. Sebab aku juga harus menyadari, kalau terkadang aku hanya bisa memberikan nilai dua pada orang yang sudah memberiku delapan.

Ukuran bersama adalah soal politik, sedang ukuran pribadi adalah soal jiwa. Keduanya tak ada yang lebih penting, sebab keduanya juga sangat saling berpengaruh. Namun dalam urusan yang mendesak, akan lebih baik juga kita memberikan yang terbaik dari yang kita mampu.

Tulisan Ini Semakin Tidak Jelas

Ngalor-Ngidul ini semakin tidak jelas. Sebab aku sendiri juga tidak tahu mau menulis apa. Aku hanya melakukan ini dalam rangka mengobati diri. Aku merasa harus ngobrol dengan orang yang entah siapa, dan aku tak bisa melakukannya. Mungkin dengan begini aku bisa lebih jujur dengan diriku. Sebab sudah lama sekali aku memanipulasi diri hanya demi sebuah citra yang dangkal.

Sebenarnya aku ingin menulis tentang buku-buku yang aku baca di tahun 2021 ini. Namun perasaanku mengajak untuk menundanya, dan akhirnya aku menuliskan ini. Mungkin besok malam aku akan menulis mengenai hal itu. Aku berharap semoga kita semua diberi kesehatan untuk menjalani hidup.



Salam Sehat



[1] Kutipan puisi Chairil Anwar lagi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"