Ah, entahlah,,,,

Tak seharusnya aku meninggalkanmu. Mengabaikan banyak hal yang sudah kita lewati bersama. Mungkin sebaiknya aku tetap berada di tempatku. Sebuah tempat yang tak terdefinisikan olehku, dan juga olehmu. Di sana aku bisa meluangkan waktu untuk kau bercerita dan juga bercanda. Namun bagiku, hidup ini bukan hanya tentang perasaanmu, tapi juga tentang perasaanku. Sedang semua tentang kita sudah menjadi masa lalu.

Aku telah berusaha di hadapanmu. Juga di hadapan diriku sendiri. Tapi kau bersikap seolah tak berdaya, dan itu membuatku terbakar dalam kesunyian. Kau mungkin bisa tahu bagaimana rasanya. Sebab aku pernah memutuskanmu. Namun kupikir ini adalah babak akhir. Sebuah babak yang menentukan bagaimana kesimpulan dari cerita cinta kita. Apakah kita akan bersama, atau menjalani hidup masing-masing.

Kita memang sedang terpaut jarak. Namun hati kita bisa terus saling menyapa, bila kita memang menyepakatinya. Kita bisa saling mempersiapkan diri untuk pada akhirnya bersama dan bercinta. Tapi hal itu terlalu sukar untuk diputuskan. Sebab yang selalu ada, mengalahkan yang istimewa. Sebab yang kau cinta mengandung banyak drama yang tak bisa kau lupa. Sebab hatimu tidak tertata pada apa yang kau resahkan, dan apa yang sesungguhnya kau cintai.

Kini yang tersisa hanya tinggal keberanian. Sebab kejujuran sudah kau simpan erat untuk dirimu sendiri. Aku tidak kecewa atas itu. Aku hanya merasa menyakiti diriku sendiri. Aku juga tak mau kau terus jujur dengan kebimbanganmu, dan hanya menjalani kehampaan. Kita sama-sama manusia, bukan boneka yang hidup dalam permainan. Meski hidup hanyalah permainan, tapi kita tak layak untuk saling mempermainkan. Maafkan aku jika aku hanya sempat memberimu boneka. Pada akhirnya kita harus berani memutuskan, dan menanggung penderitaan atasnya. Kita sudah saling bicara mengenai ini. Tentang ke mana ujung dari jalan penderitaan yang kita pilih.

Beberapa hari ini aku memang merasa kurang fokus dalam bekerja. Tapi ada satu sisi di mana aku lebih fokus dari sebelumnya. Fokus pada sedikit komitmen dalam diri. Fokus untuk sedikit menabung, dan menyiapkan diri pada jenjang kehidupan berikutnya, entah dengan siapa dan bagaimana. Tentu fokus itu butuh keberanian yang akan diuji oleh waktu.

Jauh di lubuk hatiku, tak ada tempat selain untuk dirimu. Tapi Tuhan Maha Asyik. Ada banyak hal yang tidak kisa sangka bakal berubah, namun itu terjadi. Kuharap perasaan kita pun begitu. Tak ada hubungan yang sehidup-semati. Bahkan pada mereka yang sama-sama hidup pun kadang tak bertahan lama. Mungkin ini kenyataan yang harus kita terima. Aku belajar bahwa, makna terbaik dalam hidup tidak hanya soal memberi, tapi juga menerima. Ada beberapa hal dalam hidup yang hanya bisa kita terima, meskipun itu tidak mudah.

Pada akhirnya aku percaya bahwa hidup adalah sebuah takdir. Bahwa kita tidak memiliki pilihan. Kita hanya seolah-olah memiliki pilihan. Ada sebuah kesempatan besar yang ada di hadapan kita, tapi kita tidak tergerak untuk menjalaninya. Sebab itu bukanlah takdir kita. Juga ada hal-hal yang kita tekuni dengan sangat, meski itu peluangnya kecil. Sebab itu adalah takdir kita. Ada hal-hal yang begitu kita perjuangkan tapi tidak berhasil. Ada hal-hal yang tiba-tiba datang dan memberi sesuatu. Sejauh apa pun kita menghindarinya, dan sekeras apa pun kita mendekatinya, takdir memiliki rumusnya sendiri. Apa pun yang menjadi takdirmu, akan mencari jalannya menemukanmu, begitu kata orang.

Awalnya aku mengira kalau kita ditakdirkan bersama, saat kita mulai saling bercerita dan bercanda kembali. Aku bahagia ketika memikirkan itu. Ketika fakta yang kupikirkan sesuai dengan harapan yang ada di hati. Pada akhirnya aku harus menganggap bahwa itu adalah sebuah kesalahan berpikir. Tapi aku cukup senang jika itu adalah cara kita saling berpamitan dengan damai, dan aku bangga kau berani teguh dengan pilihanmu. Meski aku kadang tak percaya kau benar-benar memilih, atau berusaha menerima. Namun tak ada yang salah dari itu.

Juga tak ada yang salah dari apa yang sama-sama saling kita ucapkan, dan juga kita tulis. Sebab kita melakukannya dengan sadar. Terkadang, kata-kata itu hanya terlalu naif. Mungkin karena kita terbiasa berkumpul dengan orang yang berbicara secara diplomatis. Atau juga, buku yang kita baca banyak menyiratkan itu. Membuat kata-kata yang ambigu dan multitafsir. Kata-kata yang membuka peluang pada banyak kemungkinan. Kata-kata yang mudah dielakkan dengan dalih lain. Sehingga kita melangkah dalam banyak ketidakjelasan. Mungkin kata-kata itu hanya sekadar ide yang ingin kita ungkapkan. Bukan rasa atau jiwa yang ingin kita akui untuk merepresentasikan diri kita.

Aku menjadi bingung bagaimana harus mengakhiri tulisan ini. Semakin aku menulis, semakin aku ingin mengungkapkan banyak hal lain, dan seperti tak ada jalan untuk mengkrucutkannya.

Ah, entahlah,,,,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"