Persimpangan

Malam itu aku termenung sendiri. Ditemani suara jangkrik dan juga katak yang saling bersahutan. Sore tadi hujan deras. Wajar jika malam ini mereka ramai bersuara. Seperti sedang berpesta. Mungkin ini moment yang tepat untuk mereka melepas kesunyian. Saat dimana manusia di sekitarnya merasakan dingin, dan mungkin sebagian diantaranya ikut bersikap dingin. Tapi para katak dan jangkrik memilih sikap sebaliknya.

Aku ingin bertanya pada kodok itu. "Apa yang mereka pikirkan saat diam? Saat musim panas membuat mereka enggan bersuara". Pada akhirnya sisi lain dalam diriku menjawab. "Mereka tidak berpikir. Mereka hanya menjalani keadaan, tanpa peduli dunia lain sedang apa." "Mungkin memang begitu. Mereka menjalani dihidupnya sendiri, tidak lebih".

Aku pun merasa malu. Sebab tidak selesai dengan hal-hal yang seharusnya mudah untuk damai. Atau sebenarnya aku memang salah menilai banyak hal. Pada hal-hal sepele yang seharusnya kuanggap penting. Juga pada hal-hal penting yang mungkin lebih penting dari yang kukira.

Saat ini hanya tinggal aku yang harus menalarnya. Mempercakapkan semua hal dengan diriku sendiri.

“Bagaimana jika pilihanku salah?”

“Tak mengapa. Setiap orang pernah melakukan kesalahan. Begitu pun aku”

“Sanggupkah aku menanggungnya jika suatu saat nanti ini akan menjadi buruk?”

“Aku tak bisa menjawabnya. Yang aku tahu manusia tidak hanya penuh dengan kenaifan, tapi juga keraguan. Mereka yang gagal justru adalah merek yang tidak mau memilih. Mereka yang hanya menyerah dengan rutinitasnya. Mereka mati lebih cepat dari seharusnya.”

“Mudah bagimu untuk mengatakannya. Tapi kau sama sekali tak mengerti gejolak dalam diriku.”

“yah. Maaf. Sebab hanya itu yang bisa kuberikan. Aku bukan raja yang memiliki istana dan menjadikanmu sebagai permaisuri. Aku tak bisa menyediakan seribu hamba sahaya agar kau nyaman dan bahagia.”

Percakapan berhenti di sini. Aku tak mau lagi melanjutkan apa yang hanya akan menjadi sia-sia. Aku sudah berusaha. Barangkali kebijaksanaan tertinggi adalah diam. Membiarkan kenyataan berjalan dengan jiwanya sendiri.

Aku ingin kau maju bersama keyakinanku. Tapi yang aku yakini tidak datang untuk itu. Dia datang untuk menggugat banyak yang aku inginkan. Namun kata-kata bijak tak ada gunanya, yang utama adalah kita selalu bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"