Tiga Buku


Tiga buku telah datang padaku. Buku-buku pilihan tentunya. Termasuk buku yang dipilih sebab harganya yang murah. Namun saat ini aku sudah cukup memiliki kualifikasi, sebab buku yang kupilih haruslah buku Ori. Harganya cukup rendah, baranya juga sudah terpakai, namun harus buku Ori. Selangkah lebih baik dari aku yang dulu suka menumpulkan buku bajakan.

Tiga buku itu menemani malam mingguku yang syahdu, sepi. Buku pertama berisi kumpulan kutipan dari penulis terkenal Kairo. Aku tidak menyangka kalau isinya hanyalah kutipan. Fakta dari buku pertama ini membuatku kecewa pada pilihanku sendiri. Bukan sebab buku atau penulisnya, tapi karena aku kurang suka dengan buku yang hanya berisi kumpulan kutipan, atau quote. Tidak menarik rasanya membaca sebuah kutipan tanpa mengetahui narasi yang menjadi latar belakangnya. Jika kita hanya mengonsumsi kutipan, sama artinya dengan kita mengerdilkan nalar, mempersempit area belajar. Kumpulan kutipan itu mengajak kita untuk langsung melompat ke puncak gunung, dan setelah itu kita langsung diajak lagi melompat ke puncak yang lain, tanpa banyak waktu untuk merenung. Kita menjadi lupa pada sebuah proses mendaki. Padahal menghayati proses pendakian itu sama pentingnya dengan merenung di puncak. Cukuplah aku mendapatkan euforian quote ini pada media sosial saja, jangan sampai aku menikmatinya juga dalam satu buku.

Buku yang pertama itu kubaca tidak sampai pada lima puluh halaman pertama. Pada akhirnya buku itu kuletakkan pada rak sebagai koleksi. Pada buku ke dua dan ke tiga aku merasa mendapatkan harta karun. Dua buku yang ingin segera kubaca semalaman ini tadi. Namun keinginan itu tertahan oleh ajakan untuk membahas sebuah organisasi. Dua buku itu adalah novel karangan dua penulis besar.

Satu penulis Jepang bernama Natsume Soseki. Pengarang yang dulu membuatku terhanyut pada novelnya yang berjudul Rahasia Hati. Novel itu bercerita mengenai perjalanan manusia yang terasing pada dirinya sendiri. Kali ini dia bercerita mengenai kepribadian manusia dalam sebuah lembaga pendidikan. Sebuah novel berjudul Botchan. Aku pernah melihat novel ini dengan cover yang berbeda sebelumnya. Tapi aku lebih suka dengan cover yang saat ini ada padaku, meski ia tampak sebagai buku bekas. Sedangkan mengenai isinya, aku sama sekali tidak ragu. Sebab aku begitu terkesan dengan novelnya yang kubaca dahulu. Natsume Soseki juga adalah penulis besar di jepang yang pernah meraih penghargaan Akutagawa. Saat aku telah membaca sepuluh halaman pertama, aku merasa keyakinanku benar. Novel ini adalah mahakarya.

Satunya lagi adalah novel berjudul Kamar Milik Sendiri karya Virginia Wolf. Aku begitu kagum dengan pengalaman batin yang begitu kaya, yang diceritakan oleh orang ini dalam novel atau cerita pendeknya. Saat membaca salah satu cerpennya, aku merasa dia seakan membangun dunia baru dalam jiwanya. Sudah lama aku melihat buku dengan judul ini. Namun keputusan untuk penasaran dan beranjak untuk membacanya baru ada dua hari kemarin. Rasanya juga cukup beruntung, sebab aku mendapatkan cetakan edisi pertama tahun 2018. Kuharap aku bisa segera membacanya setelah nanti aku selesai dengan novel Botchan, dan semoga aku bisa merangkumnya di sini.

Cukup bahagia rasanya masih bisa membaca buku sampai saat ini. Bukan karena orang lain yang seumuranku sudah tidak melakukannya, tapi karena aku suka melakukannya. Sebagian orang suka memelihara burung dan menikmati suaranya, temanku bernama Aqib suka mengoleksi Action Figure Jepang, dan orang-orang di sekitarku suka bermain game di Gadget. Sedangkan sampai saat ini aku tidak bisa jauh dari buku fiksi. Bagiku mengoleksi buku sama halnya dengan mereka yang mengoleksi ikan cupang. Sama-sama merawat apa yang disukai.

Aku tidak pernah ingin menganggap buku sebagai beban. Bagiku ia adalah harta dan kemewahanku. Aku berharap suatu hari nanti bisa mengumpulkan buku-buku yang kumiliki di rumahku, sebagaimana orang merawat burung di rumahnya. Bila aku mendonasikan buku, itu karena aku ingin berbagi, bukan karena aku menganggapnya sebagai tumpukan beban.

Aku tidak menyangsikan ungkapan yang bilang kalau, “ilmu itu ada dalam hati, bukan pada kertas”. Tapi ini tidak hanya soal ilmu, ini sial cinta. Sayangnya aku belum bisa menjadikan apa yang aku cintai menjadi peluang untuk mencari nafkah. Aku sudah cukup menerima soal ini. Bila sampai nanti aku tidak bisa menjadikan apa yang kusukai sebagai jalan untuk menghidupiku secara materi. Namun biar bagaimanapun, aku akan terus berharap kalau aku bisa dekat dengan buku. Akan lebih baik juga jika aku berdampingan dengan orang yang tepat untuk mendiskusikannya.

Selamat Hari Minggu....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"