Suara Hati

Andaikan pada suatu hari aku bangun dari tidurku, dan kudapati diriku tak bisa lagi mendengar suara hati. Aku menjadi bingung. Entah apa yang sudah kulakukan hingga hatiku tak lagi bersuaranya. Mungkin aku tak pernah menggunakannya. Mungkin juga aku tidak pernah menganggap diriku memiliki hati. Yang aku tahu semua yang ada dalam tubuhku ini adalah  wadak. Tak ada satu pun tempat untuk merasa. Untuk memberi sesuatu karena dorongan kasih. Untuk menghindari sesuatu karena rasa takut, atau mendekati sesuatu karena dorongan cinta.

Sepertinya aku pasti akan sangat menderita karenanya. Sebab selama ini tak ada yang lebih penting dari suara hatiku. Mulai dari musik kesuakaanku, hobiku, hingga kenapa aku memutuskan untuk tidak bekerja secara formal. Terserah jika memang aku dianggap tidak mapan oleh orang lain. Aku hanya mengikuti suara hatiku, dan dengan begitu aku bahagia.

Kebahagiaan itu lebih berharga dari banyak hal. Dari ajakan selera pasar yang tak ada habisnya. Dari pameran penuh gaya yang cepat sekali berubah. Juga dari aneka macam pilihan yang malah membingungkan diri. Kebahagiaan itu membuat waktu dalam hidupku menjadi melambat. Membawa diriku untuk menghayati setiap hal yang hadir.

Aku menjadi tidak begitu peduli dengan dunia yang berlari terlalu cepat. Aneka hal yang begitu cepat menjadi viral, dan tak butuh waktu lama untuk menjadi kuno. Sebagaimana saat ini aku masih menyukai hal-hal yang aku sukai saat remaja. Yang saat itu bagi sebagian pengamat, hal yang kusukai itu adalah karya sepanjang masa. Meski hal itu membuatku sendirian, tapi aku tidak merasa kesepian. Sebab dalam kesendirian itulah aku bisa mendengarkan suara hatiku.

Saat aku begitu membutuhkan inspirasi, maka hatiku sendirilah tempat pertama aku bertanya. Kututup kedua telingaku, dan kupejamkan mataku. Kuupayakan untuk berhenti berpikir, dan pikiranku hanya akan mencatat apa yang dikatakan oleh hatiku. Kudengarkan benar-benar apa yang dikatakan olehnya, dan ketika aku kembali membuka mata dan telingaku. Langsung bisa kuakui kalau yang dikatakan oleh hatiku itu benar.

Suara hati seperti sudah menjadi kebutuhan pokok dalam jiwaku. Aku pun percaya dengan ungkapan guru mengenai ‘lima perkara yang bisa mengobati dan menguatkan hati’. Meski sikap percayaku tidak membuat diriku teguh mengamalkannya. Seringnya aku juga lalai untuk menjalani dari lima hal yang diungkapkan guruku ini, dan saat itu terasa sekali hatiku enggan untuk bicara. Hingga tiba waktunya aku bertanya pada guruku secara pribadi. Beliau kupanggil dengan Abah.

“Bah, kenapa akhir-akhir ini aku tidak bisa merasakan hatiku bicara, apakah ada yang salah dengan diriku, atau hatiku memang sudah tidak mau lagi bicara?”

“Hati memang sudah seharusnya tidak banyak bicara nak. Hati itu ibarat puisi. Dia hanya memberi sedikit kata, tapi mengandung banyak hal. Bahkan juga melampaui ruang dan waktu. Masalahnya bukan hatimu yang enggan bicara, tapi dirimu yang tidak serius menjalankan apa yang dikatakan oleh hatimu. Jika hal ini kau terus-teruskan, nasibmu akan sama seperti banyak orang yang mengabaikan kata hatinya, dan hanya menjalani rutinitasnya saja”. Aku mendengarkan degan menundukkan kepala. Dalam jeda ungkapannya, beliau bahkan terasa tengah berdzikir. Dari situ aku menyimpulkan bahwa, dzikir adalah upaya untuk menjaga kesadaran hati, dan orang-orang mulia adalah mereka yang memiliki kesadaran hati yang murni.

“hati seperti halnya tanaman. Ia tidak hanya butuh disirami dan diberi pupuk agar tetap subur. Tapi juga dijaga agar tidak mati. Yang membuat hati bisa mati adalah ketika kamu kebanyakan tidur. Orang yang tidur adalah orang yang tidak menyadari apa yang ada di sekitarnya, bahkan dia juga tidak menyadari adanya dirinya sendiri. Maka sebaiknya kurangilah tidurmu, agar hatimu tidak mati. Sebab jika hati sudah mati. Upaya untuk menghidupkannya akan lebih sulit dari pada menjaganya.”

Jawaban itu lebih dari cukup untuk pertanyaanku. Aku menjadi mengerti bahwa suara hati adalah jawaban pertama yang harus kita dapatkan dalam memutuskan sesuatu. Pastinya hati tidak akan bicara soal hidup menjadi ini atau itu, bersama dia atau bersama yang lain. Karena kata hati itu seperti puisi, maka dia akan berbicara mengenai keutamaan, kebenaran, kebahagiaan, dan kebijaksanaan. Kemudian pada perjalanannya kita akan terus bertanya ‘apakah yang kita lakukan sesuai dengan yang dikatakan oleh hati kita?’.

Tahun lalu aku menonton sebuah film. Dalam sebuah scene-nya, terdapat goa yang berisi beberapa ular raksasa. Ular-ular itu hanya akan memakan manusia yang hatinya tak murni. Tempat itu merupakan arena ujian kelulusan masuk menjadi pejuang. Mereka yang sudah lulus dalam dua ujian sebelumnya berakhir sebagai santapan ular raksasa. Sebab mereka membiarkan hati mereka penuh dendam, ketamakan, dan kesombongan.

Aku membayangkan jika diriku masuk ke goa itu, pastinya aku akan langsung dilahap habis oleh ular raksasa. Namun itu hanyalah sebuah film. Dalam kehidupan nyata, hal seperti itu mustahil untuk ada. Setidaknya secara fisik. Bisa jadi, ular raksasa itu berupa kepentingan dan eksploitasi dari raksasa peradaban yang bahkan lebih buas dari binatang. Maka penting sekali untuk membersihkan hati dari sifat-sifat yang mengotorinya. Rasanya sifat-sifat kotor seperti itu mudah sekali untuk menempel dalam hatiku. Sifat dendam dan sombong yang kadang malah kuanggap sebagai hal yang naluriah. Hingga secara tak sadar sifat itu sudah mengotori jiwaku.

Rasanya cukup beruntung bahwa aku masih bisa mendengar suara hatiku saat ini. Meskipun klaim ini hanya bersifat personal, dan tidak bisa dibuktikan secara sosial. Namun menyadari bahwa diri ini punya hati yang hidup adalah rahmat luar biasa.

Komentar