Halaman Buku Yang Hilang

Dua Minggu yang lalu, aku membeli buku lama. Dua buku yang memang sekarang sudah tidak terbit, dan satu buku yang meskipun sudah ada cetakan terbaru, aku berharap bisa memiliki cetakan yang lama, dan original tentunya.

Original itu penting, sebab aku merasa harus menghargai apa yang kusuka. Kalaupun saya tidak dapat membantu penulisnya secara keuangan, karena membeli buku cetakan lama, setidaknya aku tidak menyakiti hatinya dengan cara membajak bukunya. Jujur saja, aku dulu suka membeli buku bajakan, dan aku banyak membuat pembelaan diri saat melakukannya.

Pada dua buku pertama, aku merasa mendapatkan Harta karun. Atau paling tidak, sesuatu yang bisa menjadi arsip sejarah. Satu buku filsafat Driyarkara yang masih menggunakan ejaan lama, dan satu lagi buku cerita di zaman kemerdekaan. Menurutku, Keduanya adalah hal yang penting untuk dibaca, dan aku tidak sabar untuk melakukannya.

Buku yang ketiga yang kubaca lebih dulu. Judulnya Burung-burung Manyar karya Romo Mangun. Buku yang menurutku layak untuk dikoleksi. Sebab aku mendapatkan versi cetakan lama, dan sudah terlihat usang. Buku itu sangat populer pada zamannya.

Yang ingin kuceritakan kali ini adalah, aku menemukan empat halaman kosong dalam buku itu, sebuah hal yang membuatku kecewa. Pada dua halaman kosong pertama, aku berfikir untuk meretur buku itu pada penjualannya. Sebab saya penasaran dengan isinya. Namun karena tidak sabar ingin melanjutkan membaca cerita, aku lewati halaman kosong itu dan mengira-ngira isinya dari bacaan selanjutnya. Pada akhirnya, dua halaman kosong berikutnya pun kulangkahi.

Setelah cukup jauh meninggalkan 4 halaman kosong tadi, aku pun tidak lagi peduli dengan isinya. Aku juga tidak lagi ingin memprotes kondisi buku itu pada penjualnya. Ada perasaan bahwa, aku biasa saja melewati kekosongan itu tanpa ada rasa penasaran bersalah. Juga sikap biasa saja dalam melewati kekecewaan. Mungkin sebaiknya aku memang begitu. Berusaha untuk berdamai dengan kekecewaan yang sudah terlewati.

Tak ada gunanya mengungkit kekecewaan yang memang tak bisa terbalaskan. Tak ada artinya menengok masa lalu terus-menerus. Kita hidup untuk hari depan. Tak peduli seberapa runyam yang terjadi di masalalu, hari ini harus diselesaikan dengan baik. Jangan biarkan masa lalu terus menghantui hari ini. Harus diyakini bahwa tak semua perjalanan hidup itu ideal. Biarkan saja masa lalu tersungkur dan penuh kekacauan. Biarkan Sebagian orang yang tahu merendahkan kita, hanya melihat sebagai masa lalu. Biarkan mereka tak sadar kalau waktu bukan miliknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"