Rindu itu Nyata, Atau Ilusi?

Rindu dendam adalah kata yang sudah tidak populer lagi dalam dasawarsa ini. Kata itu mungkin hanya diperuntukkan pada era sembilan puluhan. Mungkin tidak juga. Hanya saja tidak ada media populer yang menggunakan istilah itu. Seperti istilah bertepuk sebelah tangan pun juga cukup asing awalnya. Namun ketika Ahmad Dhani membuat lirik lagu dengan kata itu, banyak orang menggunakannya kembali.

Aku pernah membaca istilah setali tiga uang dalam sebuah novel lama. Arti dari istilah itu adalah “sama saja”, begitu yang kudapat dari pencarian di internet. Dari situ aku mulai merasa bahwa ada banyak istilah bahasa Indonesia yang surut, atau bahkan tenggelam. Hari ini pun kita dibanjiri kata asing yang sudah terlanjur populer. Maka sungguh berat beban yang dipikul oleh Uda Ivan Lanin dan kawan-kawan. Bahkan mungkin lebih berat dari rindu dendam.

Rindu dendam adalah sebuah idiom dari kata rindu dan dendam. Penyatuannya menjadikan makna baru yang berarti sangat-sangat rindu. Tapi apakah rindu itu memang sesuatu yang nyata, atau hanya ilusi? Barang kali kita butuh sejenak merenungkan kerinduan kita masing-masing.

Aku pun juga merasakan rindu dalam banyak hari belakangan ini, dan aku cukup yakin bahwa aku memang merindu. Hanya terkadang aku kecurigaan bahwa, rindu ini hanya ilusi yang menyelinap dalam jiwa. Namun kemudian aku bisa melihat kalau rindu itu memang nyata. Sebab ada jutaan orang mudik ke kampung halamannya setiap tahun, ribuan alat transportasi penuh ketika itu, dan media komunikasi pun sampai macet karena banyaknya pengguna. Bagiku itu bukan hanya fenomena budaya, tapi juga fenomena kerinduan yang ditumpuk selama setahun.

Mungkin memang ada rindu yang ilusi. Hanya dorongan nafsu dan birahi. Ia akan berhenti bila ada yang bisa menggantikannya. Sayangnya tak semua kerinduan bisa digantikan. Rindu anak dan orang tua contohnya, saudara, sahabat, atau satu pasangan yang sungguh saling mencintai. Untuk bagian yang terakhir ini keyakinan orang terbelah. Menurutku kamu bisa mengerti kenapa begitu...

Pengalaman rinduku

Aku tidak tahu kapan ibuku pergi sewaktu aku kecil. Entah saat aku umur berapa. Kabarnya saat itu aku masih belum bisa berjalan. Saat agak besar, aku diajak telepon dengan ibuku. Baru saat itu aku tahu kalau aku punya ibu, tapi nalarku belum sampai untuk merindukannya. Aku hanya selalu merasa membutuhkan sosoknya di sampingku. Ibukulah yang merindukanku pada saat itu.

Saat sudah dewasa aku merasa terbiasanya dengan keadaan. Ketidakhadiran ibuku, ke-tidakberes-an keluargaku, dan banyak hal yang diarahkan padaku dari semua itu. Aku memutuskan untuk kuliah ke Jogja. Orang mengira aku ingin belajar, tapi dalam alam bawah sadarku- yang ternyata baru kusadari belakangan -, aku tidak bahagia bersama keluargaku. Hingga sampai saat ini pun aku enggan kembali ke rumah.

Waktu dan keadaan membuatku berpikir berbeda. Aku mulai merasa merindukan ibuku. Selalu ada suara dalam diriku mengatakan, “setidaknya berkomunikasilah dengannya”. Jadi, meskipun aku tak terlalu berat hati mengabaikan perintahnya, aku harus lebih aktif menghubunginya. Sebab, sejak aku memiliki telepon genggam, dialah yang pertama meneleponku. Aku meneleponnya hanya dalam soal keuangan, dan hari ini itu setengah memalukan. Rasa bersalahku tidak begitu tinggi dalam soal ini, sebab aku merasa dibentuk oleh keadaan. Beberapa hari ini aku meneleponnya. Walau belum ada jawaban, kurasa ini lebih baik dari pada kemarin. Tidak lupa aku selalu berdoa, semoga ibuku sehat dan tenteram. Amiin

Sedangkan rumah tetaplah rumah. Walau aku lebih banyak ingatan buruk soal rumah, ia tetap menyala dalam jiwaku. Seperti api abadi yang dipertahankan oleh bumi. Walau kadang redup, tapi ia tak pernah mati. Tentang Bapakku dan semua yang ada di sana. Bagiku rindu rumah bukanlah ilusi, tapi sejenis kesadaran diri.

Rindu Itu Berat Dan Kamu Kuat

Sewaktu menjalin hubungan dengan seseorang, aku sering cekcok hanya karena masalah komunikasi yang tak terbalas, atau diremehkan. Merasa diri bukan prioritas, dan mencurigai adanya pihak lain. Kadang itu benar, kadang juga hanya soal ego. Hingga akhirnya malah saling membenci.

Memang lebih mudah membenci, daripada harus menanggung rindu.

Sebab seringnya kita tak mampu mengendalikan hati dan pikiran pada yang dirindukan. Emosi mengoyak untuk dapat bersama, tetapi keadaan berkata sebaliknya.

Terkadang dalam rindu terdapat penyesalan, terkumpul harapan, terderai kenangan, dan juga tercipta doa. Rindu mengingatkanku pada kelemahan. Bahwa tak semua yang kita inginkan bisa terwujud. Rindu juga mengajariku tentang kesabaran. Bahwa waktu yang tepat bukanlah saat ini. Rindu seperti samudra, terkadang gelombangnya mengoyak jiwa. Namun seluas apa pun samudra, ia memiliki tepi. Di tepian rindu itu kita mungkin akan belajar menyadari banyak hal, tentang rasa dan semua perjalanannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"