Mereka Tidak Menghargai Seni, Mereka Menghargai Uang

Sore tadi, sambil istirahat dan menikmati kopi di pinggir sawah, saya mendengarkan musik yang saya sukai di aplikasi smartphone. Salah satu lagu yang bagi saya menarik adalah, With or without you, dari U2. Lagu itu masih saja layak untuk dinikmati hari ini, setidaknya bagi saya. Saya anggap, lagu itu adalah karya besar tahun 1987, yang tak lekang oleh waktu. Benar jika dikatakan bahwa, kualitas sejati teruji oleh waktu.



Foto dari majalah Rollingstone Indonesia


Ada banyak lagu-lagu di tahun tuju puluh sampai delapan puluhan yang, tetap dengan sound lama, dan juga aransemen lama, tapi masih enak dinikmati sampai sekarang. Liriknya Masih dalam, nadanya gak membuat bosan, dan nyawa dari lagu tersebut juga tidak punah, seperti contohnya lagu Final Countdown milik Europe.

Bagi saya ini bukan soal karya lama atau baru, klasik atau modern, old school atau entah apa kebalikan dari kata itu. Namun ini soal bagaimana keindahan itu begitu nyata bila kita menyadarinya. Sebab selama ini ada banyak lagu yang bagus yang diperjelek, dan diedarkan sebagai bayang-bayang. Banyak orang terpesona dengan mitos kebaruan. Yang mereka lihat bukan idenya, tapi kapan lagu ini muncul. Tentunya harus dibawa oleh generasi masa kini, yang di-aluni dengan musik sederhana hari ini.

Menjiplak lagu orang mungkin tidak dosa, mungkin juga tidak salah secara hukum. Tapi sangat sedikit dari lagu-lagu cover itu yang tampak memiliki visi. Seperti mereka tidak menghargai seni, mereka menghargai uang. Zaman dimana kebebasan terbuka lebar, membuat orang lupa dengan batasan. Kalau dulu(kata om Ian Antono), "musisi setengah mati hanya untuk masuk dapur rekaman". Kini semua orang punya media yang dibebas, yang malah digunakan untuk menjiplak karya orang lain.

Dulu kita membeli VCD bajakan karena harganya lebih murah, walaupun gengsinya rendah,bahkan orang desa seperti saya harus bersepeda ke kota untuk dapat yang original. Sebab di pasar hanya VCD lagu daerah yang original. Sedang hari ini semuanya berharga sama di YouTube, tapi penonton dari musik kover bisa lebih banyak dari yang original. Sebuah gejala seni yang menyedihkan.

Pada awalnya munculnya aplikasi YouTube, seorang musisi bilang kalau, "media ini bisa menjadi penambal pada kritik di industri musik lama". Namun yang terjadi adalah, ada banyak yang menjadi musisi atas nama popularitas lagu-lagu dari industri musik lama. Banyak orang pun berbondong-bondong menikmatinya, yang secara tidak langsung mengamini penjiplakan itu. Seakan menjiplak bukan lagi suatu hal yang tabu dan memalukan.

Bahkan ada lagu yang dari luar negeri, yang rasanya mirip seperti budaya nyanyian masa kecil kita, tapi dinyanyikan dengan bahasa mereka. Salah satu liriknya pun seperti menyindir bangsa kita. Namun karena lagu itu terdengar cukup ringan, orang di negeri ini menjiplaknya dengan suka ria. Sepertinya ini bukan lagi zaman kemunduran, tapi juga kerendahan.

Saya sendiri tidak benci dengan musik Cover, hanya tidak suka. Bahkan yang tidak mengcover pun belum tentu saya suka, tapi setidaknya dia lebih otentik. Bahkan Band legendaris seperti Godbless pun dulunya menyanyikan lagu orang. Namun pada akhirnya mereka berkembang dengan lagu sendiri, dan karya-karya mereka menjadi penanda zaman. Zaman pengapnya transportasi umum dalam lagu Bis Kota, juga zaman awal urbanisasi dalam lagu Rumah Kita. Perkembangan adalah bergantinya budaya menjiplak ke budaya otentik, bergantinya pengikut menjadi penggagas, bukan sebaliknya.

Komentar