Fajar Pagi

Hampir pukul enam pagi, dan sejak semalam aku belum juga tidur. Biasanya aku memilih untuk mendengarkan musik, atau pengajian, atau obrolan-obrolan yang ada di YouTube. Yang paling sering mungkin Ngaji Filsafat dari Pak Faiz.

Tapi kali ini aku tidak melakukan semua itu, hanya diam memejamkan mata, dan kemudian tenggelam dalam lamunan. Namun -setidaknya untuk saat ini- aku sendiri menolak lamunanku. Sebuah dunia awang-awang yang tak dapat kumiliki, hanya sesaat mengalihkan diriku pada masalah, dan kemudian aku kembali tidak baik-baik saja.

Sesaat kubuka mataku, dan langsung kupejamkan kembali. Kudengar suara ayam saling bersahutan sejak tadi. Seperti melakukan ritual untuk menyambut pagi. Burung-burung juga tak mau kalah untuk berbunyi. Tapi kupikir tidak hanya soal menyambut pagi, burung-burung itu menyambut kehidupan.

Kembali aku membuka mata. Tampak dari jendela, gelapnya malam sudah berganti dengan nuansa cahaya remang-remang. Kabut embun dimana-mana. Titik-titiknya mengambang di udara, seperti menolak gravitasi. Seharusnya udara terasa dingin, tapi pikiranku sendiri mengatakan, “ada yang lebih dingin dari titik embun di pagi ini”. Aku sendiri pun merasa tengah bersikap dingin pada keadaan.

Di jalan depan kebun, kendaraan roda dua sudah sejak tadi terdengar berlalu lalang, menuju pasar, juga ada yang ke sawah. Orang-orang di luar sana mulai beraktivitas, memulai kehidupan hari ini. Mereka membuat hari itu “hidup”, hari itu menghidupi mereka.

Sedang di sini, sebagian orang masih belum bangun. Sebagian lain ada yang mulai tidur. Juga ada yang sejak tadi malam masih terjaga, sampai saat ini, di situlah aku berada.

Suara Gasir terus berbunyi tanpa henti. Hujan tadi malam terasa kuat dalam membasahi tanah, genting, dan banyak hal di bawah langit.

Kuhentikan lamunanku, kemudian beranjak keluar sambil membawa buku. Kubuka novel yang baru kemarin mulai kubaca. Berharap mampu mengutip sesuatu yang berharga.

Jam delapan

Pukul setengah delapan. Kuhentikan bacaan ku, dan mengarahkan mata -dengan tatapan kosong- ke area persawahan. Pelan-pelan aku mulai menyadari, titik-titik embun sudah menghilang. Namun, langit biru yang biasanya tampak, kini disembunyikan oleh awan. Mendung di mana-mana, pekat menutup cahaya matahari. Sesekali suara petir terdengar malu-malu.

Angin pun tampak lambat, sebab tak sampai membuat daun dapat melambai-lambai. Sedangkan Gasir dan ayam sudah berhenti bersuara. Hanya burung-burung yang tetap bersuara dengan gembira.

Ada burung Pipit yang bersahut-sahutan di antara pepohonan, juga ada burung Tekukur yang sejak tadi bersuara, meskipun hanya sendiri di kandangnya. Tampaknya burung-burung itu gembira dengan yang mereka dilakukan. Mereka tidak seperti diriku, murung dengan apa-apa yang tak dapat dimiliki. Mereka tampak bangga dengan suaranya. Dengan bangga mereka memberikan itu pada semesta.

Saat ini, aku duduk sendiri di depan pintu kamar. Sebagian orang di sini sudah mulai tidur. Dua orang masih setia dengan handphone-nya. Hanya ada satu orang yang terjaga bersamaku. Dia berada jauh di sudut aula, sejak jam tuju tadi membaca Al-qur’an. Jaraknya denganku membuatku tak bisa mendengar suaranya. Mungkin juga suaranya yang terlalu pelan. Namun kita sempat saling menatap dan tersenyum. Hal itu serasa sudah cukup menjadi isyarat, bahwa kita menghargai kehadiran masing-masing.

Sebenarnya, suasana sepi membuatku merasa mendengar banyak hal, yang biasanya hal itu tak sempat kusadari. Mungkin memang begitulah konsepnya. Sepi dapat menjadi pintu untuk hal-hal yang tak sempat kita sadari sebelumnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"