Lebih Baik (1juni 2022)

Ada banyak yang melintas dipikiranku sore ini. Tentang kesendirian, kerinduan, dan keadaan. Tiga hal itu menjelma awan di atas kepalaku. Mengantar bayangan pada banyak hal yang sudah kulewati, juga hal-hal yang kuinginkan.


Yang kuinginkan adalah hidup damai penuh arti, andai hal itu ada. Sedang bayangan masa laluku terus menghantui. Keputusan yang salah, keadaan yang rumit, dan juga jiwa yang lemah, menjeratku dalam kesendirian. Melamunkan banyak hal tanpa kepastian. Serasa menunggu waktu untuk menyerah, meski itu belum waktunya.


Aku membuat kopi sebagai teman beberapa batang rokok. Menyiapkan diri untuk terjaga, sebab sehabis magrib adalah giliranku jaga-teman di rumah sakit. Aku memikirkan alasan "kenapa aku harus melakukannya?". Apakah aku memang peduli, atau ini hanya semacam kepantasan? Dan jawabnya bukan keduanya. Jawaban yang paling tepat menurutku ialah, ini merupakan tanggungjawab yang tak bisa kita hindari. Sebagaimana cerita mengenai bayi di depan pintu rumah. Tak ada pilihan selain menjalankan tanggungjawab-yang dipaksakan untuk kita-. Ada banyak masalah dalam hidup yang kita dipaksa untuk mengatasi, walau bukan kita yang memulainya. Sedangkan anugrah terbaik dari setiap masalah ialah,ada orang yang bisa diajak bergantian dan bekerjasama. Saat ini ada banyak yang bisa diajak bergantian dan bekerjasama. Mengatur jadwal jaga, menyesuaikan dengan kesibukan masing-masing.


Mungkin kita memang terlahir egois, namun selalu ada nilai yang membuat kita berharga, bila kita menjalankannya, jika kita melakukan yang sebaiknya. Terkadang hal itu membuat diri merasa mulia, tapi sebenarnya sama saja. Tak ada yang lebih diantara yang menyantuni dan disantuni, sebagaimana tak ada yang lebih berharga antara yang menyayangi dan disayangi. Walaupun terlahir sebagai pribadi, kita saling membutuhkan, hingga nanti kita akan mati juga sebagai pribadi.


Saat kopi sudah jadi, aku membawanya ke ruang atas, tempat dimana aku bisa menikmati langit sore. Di sinilah aku mulai menulis, merenung, menghayal, dan juga membayangkan aneka hal yang sebagian kusesali. Tak kutahu apakah penyesalan ada gunanya. Bahkan jika itu diikrarkan. Kupikir penyesalan tak ada gunanya, terasa hanya respon sesaat. Orang-orang yang menyesal, adalah mereka yang tidak berpikir panjang sebelum bertindak, mereka yang tak jujur dengan dirinya. Penyesalan lebih tampak sebagai ujung dari kesalahan dan kebodohan. Namun mungkin saja ada hal yang tak kusadari dari penyesalan, yang pada akhirnya membawa pada perbaikan. Sebab aku berharap penyesalanku mengarah ke sana.


Sebatang rokok pun kunyalakan, dan pikiranku diantar olehnya pada pernyataan klasik.


Mengapa Harus Aku?


Pernahkah kamu berpikir mengenai masalah dalam hidupmu, dan bertanya pada kekosongan, "mengapa harus aku yang menanggung semua ini?". Pernyataan seperti ini tentu tidak terjawab dalam sesaat. Pernyataan yang pada dasarnya membandingkanmu pada nasib orang lain. Padahal kita tahu bahwa setiap orang membawa takdirnya masing-masing. Mungkin mempertanyakan hal seperti itu bisa menjadi awal untuk menerimanya, mungkin juga tidak.


Dalam pandanganku-sependek yang aku tahu-, takdir adalah apa yang sudah kita lewati. Takdir terjadi dalam olah sikap kita, dan juga kehendak semesta, yang kadarnya dipengaruhi oleh keduanya. Sedangkan apa yang belum kita jalani masih berupa kemungkinan. Kita bukan pelaku kehidupan, kita adalah bagian dari laku-kehidupan. Suatu saat kita akan mati, dan kehidupan tetap berjalan. Mempertanyakan takdir adalah, menggugat hidup yang tidak kita miliki pada dasarnya. Ada baiknya mungkin kita merendahkan sikap, menjalani semuanya dengan penuh kerelaan.


Setiap dari kita pernah melakukan kesalahan, tapi yang terbaik adalah menyadari dan memperbaiki kesalahan. Barangkali dzikir yang paling utama adalah, kesadaran atas karunia hidup, kerelaan untuk menerima aneka hal yang dirasa tidak menyenangkan, juga perbaikan diri atas sikap dan perilaku yang salah.


Aku tak tahu kemana angin berhembus, tapi setidaknya aku jujur dengan hatiku. Semoga ini menjadikan makna lebih baik.

Komentar