Hai blog Selamat tahun baru, untukku, dan juga untukmu Senang sekali bisa bangun pagi di awal tahun ini. Walau tak sepagi yang seidealnya, tapi ini tetaplah pencapaian pertama dan terbaik di tahun ini. Semoga bulan-bulan penuh insomnia segera berakhir. Semoga hari yang segar dan tatapan cerah bisa terus berlangsung. Tadi malam aku tidak ikut neko-neko. Ada yang mengajak bebakaran , tapi aku tidak berminat. Bukan karena aku tak suka, tapi karena merasa tak perlu. Aku duduk dan membaca buku Takdir Pangeran Diponegoro. Buku yang sudah kubeli dua inggu lalu, namun tak kunjung kubaca. Sebab antrean buku lain masih ada. Sebab aku lambat dalam membaca buku. Yah , perlu diakui begitu memang. Dua hari kemarin aku menelefon rumah. Satu hal yang jarang dan juga enggan kulakukan. Aku memutuskannya sebab dorongan hati. Awalnya aku ingin ngomong semua hal, tentang kekecewaan, tentang sakit hati dan rasa benci, tapi tak sedramatis itu yang terjadi. Aku bicara basa-basi, dan pada titik tertentu
View this post on Instagram A post shared by Fotografer Indonesia (@fotograferindonesia__) Masih bulan Desember, berarti masih bulan Gus Dur. Masih bisa mengenang beliau lewat lagu ini. Baru tadi malam aku membaca dari membuka akun Instagram Arbain Rambey, meliat koleksi foto berserta ceritanya, dan aku melihat salah satu fotonya dijadikan isi video klip. Itu adalah video klip lagu berjudul "Legenda", dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari. Langsung aku beranjak untuk menontonnya di YouTobe. Lagu itu memanglah bagus, baik lirik maupun iramanya. Namun setelah aku mendengarkan versi Sheila Majid pada tahun 1990, ternyata aku lebih suka versi yang lama. Versi Sheila Majid pada 1990 terdengar lebih bagus secara keseluruhan, baik itu musiknya maupun vocal-nya. Tentu ini pendengaranku secara pribadi. Versi 1990 lebih halus secara aransemen. Petikan pianonya bisa menyentuh ke hati. Begitu pun dengan suara Sheila Majid, khas Melayu dan halus. Terasa lebih dalam
Setelah tamat dari MTS Salafiyah di Banyuwangi ibu menyuruh saya untuk sekolah ke-Blitar, Karna itu merupakan keputusan yang bulat maka saya dengan sedikit terpaksa mengikuti apa yang diperintahkan beliau untuk memasuki jenjang SLTA di Blitar. Sampai di Blitar saya direkomendasikan oleh saudara-saudara saya untuk masuk di pondok pesantren di sana, tepatnya MA Maarif NU kota Blitar atau sering juga disebut dengan MAMNU(dulunya lebih dekat dengan MAKNU” madrasah aliya keagamaan NU”) Jalan Ciliwung nomor 52(sekarang 56). Sebagai orang baru di sana rasanya aku seperti orang asing yang belum tau apa-apa, nama daerah, istilah-istilah dan juga ada gaya bahasa yang sedikit berbeda, Namu selebihnya tidak jauh berbeda antara Blitar dan Banyuwangi. Semula tidak ada yang istimewa ketika memasuki wilayah pondok itu, hingga sampai beberapa lama. Aku pun juga masih belum menemukannya dan hampir semuanya seperti lingkungan teman-temanku di rumah pada umumnya, pergaulan, cara bicara, dan yang lain
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya