Penting Gak Penting

Malam ini masih tetap menulis. melanjutkan ide cerita malam kemarin. Sudah ketemu langkahnya, dan ada tambahan perenungan yang cukup penting. Namun masih ada keraguan untuk menuliskannya. Padahal hanya tinggal menuliskannya, tapi tetap saja tidak percaya diri. Bagaimana orang lain bisa percaya pada ceritamu, jikalau kamu sendiri bersikap seperti itu? Begitu ungkapan dari "sisi lainku" pada diriku sendiri.

Dalam moment keraguan itu, ada sebuah pesan yang masuk. sesuatu yang pada akhirnya mengalihkan perhatianku pada fokusku. Pesan itu juga mengganggu moment ketika aku cukup menikmati Album Simfonietta karya Janacek. Komposisi musik yang kutahu dari Novel 1Q48 karya Haruki Murakami. Temanku bernama Minrahadi ini mengomentari status WA yang kubuat tiga jam sebelumnya. Aku pun antusias menanggapinya, sebab kutahu dia orang yang setia dengan ide yang dia tekuni.

Aku tak tahu apakah percakapan ini penting untuk dimuat di sini. Namun mengingat ini adalah kamar lain di media sosialku, dan terserah aku untuk memuat apa saja, maka harap dimaklumi saja. Di sisi lain, entah karena alasan apa, sebenarnya aku rindu untuk mengisi tulisan di sini.

Beginilah percakapannya...

 

[00.09, 24/9/2022] Minrahadi AF: Keren itu bung(Status WA. Amor Fati)

[00.10, 24/9/2022] Arwani: Yah bung ...

[00.10, 24/9/2022] Arwani: Aku sepakat dengan mu bung....

[00.12, 24/9/2022] Minrahadi AF: Itu gagasan nietzsche bung

[00.15, 24/9/2022] Arwani: Penjabaran sederhana menurutmu bagaimana bung?

[00.16, 24/9/2022] Minrahadi AF: Kira2 begini bung

Cintailah kehidupan atau dekaplah takdirmu sekalipun itu tragis

[00.18, 24/9/2022] Minrahadi AF: Dalam konteks pemikiran Nieztsche, mereka yang sanggup mencintai kehidupan itulah nanti yang dia sebut sebagai superman

[00.19, 24/9/2022] Minrahadi AF: Seperti pendahulunya, Schopenhauer, Nietzsche berpendapat bahwa kehidupan adalah tragedi.

[00.22, 24/9/2022] Arwani: aku juga merasa harus bersikap begini bung.

[00.24, 24/9/2022] Arwani: (aku cerita masalah pribadi)

[00.25, 24/9/2022] Arwani: aku harus bersikap begini, bersikap tangguh meski ada rasa menderitanya.

[00.26, 24/9/2022] Minrahadi AF: Nah itu bung. Saya tidak bermaksud menjadi seorang fatalis. Tapi saya sering merasakan bahwa kehidupan tidak berjalan sesuai dengan harapan kita

[00.28, 24/9/2022] Arwani: yha bung. dan pada titik ini saya banyak berharap pada doa, untuk harapan dan kedamaian.

[00.30, 24/9/2022] Minrahadi AF: Kehidupan itu rumit bung. Ada lingkaran setan di sana di mana kita gak bisa keluar darinya. Apa yang membuat kita tetap bertahan hidup? Ya harapan bung. Harapan bahwa hari esok lebih baik dari ini. Di sisi lain, harapan kita seringkai tidak terealisasi dan lahirlah kekecewaan

[00.32, 24/9/2022] Minrahadi AF: Di satu sisi kita harus tetap berharap agar tetap bertahan hidup. Di sisi lain, harapan akan melahirkan kekecewaan

[00.32, 24/9/2022] Minrahadi AF: Inilah rumus bahwa kehidupan itu tragedi

[00.33, 24/9/2022] Arwani: yha bung.

[00.36, 24/9/2022] Arwani: pada kesimpulanku, untuk menerima tragedi itu bukan soal pengetahuan dan nalar kita. tapi soal bagaimana hati kita meresponsnya. dari banyak hal bodoh-konyol yang ku tahu dan juga kujalani, ternyata semua itu bukan karena aku tak tahu itu bodoh. tapi karena jiwaku tak mau bersikap yang sebaiknya. hingga pada akhirnya aku menyesal atas kebodohan yang kujalani secara sadar.

[00.37, 24/9/2022] Arwani: rasanya mungkin lebih baik jika mendamaikan hati dengan banyak hal.

[00.38, 24/9/2022] Minrahadi AF: Betul bung. Itu soal bagaimana kita merespons kehidupan

 

[00.39, 24/9/2022] Arwani: apakah salah jika pada akhirnya kita bersikap fatalis bung?

[00.41, 24/9/2022] Minrahadi AF: Saya kira tidak bung. Banyak hal memang yang gak bisa kita kendalikan terlebih2 jika itu berhubungan dengan dunia eksternal

[00.41, 24/9/2022] Minrahadi AF: Saya sering merenungkan ungkapan Sartre yang ini bung, "manusia dikutuk untuk bebas"

[00.42, 24/9/2022] Minrahadi AF: Itu artinya bahkan untuk bebas pun. Atau dengan bahasa lain, untuk menjadi manusia pun kita tidak pernah bebas

[00.43, 24/9/2022] Minrahadi AF: Kita gak pernah memilih untuk terlahir sebagai manusia

[00.49, 24/9/2022] Minrahadi AF: Dulu waktu di pondok saya sering di ajari bahwa takdir bertentangan dengan kebebasan. Setelah saya merenungkan ungkapan Sartre itu. Saya rasa, kebebasan itulah takdir kita. Kita gak pernah memilih untuk terlahir sebagai makhluk yang bebas

[00.51, 24/9/2022] Minrahadi AF: Kalau bisa memilih mungkin saya akan memilih terlahir sebagai hewan aja bung. Entah kucing atau apa. Sepertinya bagi hewan kehidupan itu bukan problem

[00.53, 24/9/2022] Arwani: waktu saya berpikir bahwa kita ini bukan makhluk yang bebas, itu bukan karena kehendak tuhan saja bung. namun juga karena banyak dalam kehidupan kita itu ternyata hanya algoritma dari apa yang sudah kita temui dan jalani. sama seperti pilihan kita pada satu produk tertentu, itu karena iklan yang selalu nan Cep di kepala kita

[00.55, 24/9/2022] Arwani: yang membedakan kita dengan kucing adalah kesadaran bung. dan itu lah juga yang membuat kita bisa mendefinisikan kucing.

[00.56, 24/9/2022] Minrahadi AF: Betul bung. Saya juga paham itu. Saya juga gak menyangkutpautkan pembahasan kita ini dengan tuhan. Anggaplah Tuhan itu ada dan dia menciptakan kita, tapi kehidupan itu bagi kita tetap saja sebagai sebuah kebetulan. Semena2

[00.57, 24/9/2022] Minrahadi AF: Betul bung. Kesadaran itulah yang membuat kehidupan itu menjadi problem bagi kita. Salah satunya adalah kesadaran  bahwa kehidupan kita sedang mengarah pada kematian

[01.01, 24/9/2022] Minrahadi AF: Ya tentu ini hanya sekedar asumsi bung

[01.00, 24/9/2022] Arwani: saya tadi baca buku pak Driyakara. beliau mengingatkan bahwa hakikat manusia itu adalah eksistensinya. idealisme membuat manusia menganggap diri sebagai subjek, dan yang lain objek. sedangkan materialisme menganggap kita hanyalah materi pengisi bumi, sama dengan isi bumi lainnya.

[01.02, 24/9/2022] Arwani: maka eksistensialisme itu adalah pengejawantahan dari kedua narasi itu. manusia itu gabungan dari ide dan juga materi. dan itulah yang mungkin disebut sebagai kesadaran eksistensialis.

[01.03, 24/9/2022] Minrahadi AF: Maksud saya kita sendiri tidak pernah merasakan seperti apa menjadi kucing. Saya hanya berasumsi bahwa hanya manusia yang menganggap kehidupan itu sebagai problem. Itu dapat dilihat dari manusia yang selalu mempertanyakan keberadaannya

[01.03, 24/9/2022] Minrahadi AF: Iya saya sepakat itu bung


Sampai di sini saja ceritanya. semoga kita sehat dan damai selalu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"