Deep Talk

Semalam ada yang mengirimkan pesan padaku.

"Aku sekarang ngobrol ma kamu rasanya rada kurang nyambung ya..  Lama gk deep Talk. Apalagi yg mikir filosofis gitu eh.."

Sejenak kupikir kan. Adakah obrolan seperti itu bermakna? Kukira obrolan seperti itu hanya hidangan yang tersaji untuk mengisi sepi. Tetapi kali ini tampak berbeda. Bisa kusimpulkan kalau obrolan itu berkesan, dan entah memberi dampak atau tidak, tampaknya layak untuk diingat.

Dalam banyak hal, manusia berbicara menggunakan bahasa-tubuhnya. Bukan dengan kata-kata. Kita terlahir sebagai mahluk simbol, dan simbol paling maju adalah kata-kata. Tanpa kata-kata, mungkin kita masih seperti jaman purba. Masih berburu menggunakan kapak corong, dan menyalakan api dengan batu. Sebab orang membuat Hieroglif, abjad paku, hingga prasasti, manusia menjadi semakin maju. Dari penggambaran yang dipadatkan menjadi aksara itu, manusia bisa lebih mudah membangun ide, meneliti pola peristiwa, dan juga merancang masa depan. Dari kata-kata pula manusia bisa mengungkapkan cinta. Andai Tuhan tidak menurunkan kitab suci, tentu kita semua tak tahu agama. Dengan adanya kata-kata, Ibnu Tuffail bisa menulis cerita Hay Bin Yaqdzan, Seorang manusia yang berfikir murni tanpa bantuan kitab suci. Bahasa adalah faktor penentu, walau sejatinya ia adalah alat.

Kembali pada pesan yang tadi. Mungkin sebaiknya kita punya waktu untuk sebuah deep talk. Sebab itu akan membawa kita pada diri yang otentik. Bahkan dengan membicarakan keterasingan orang lain pun, kita menjadi sadar akan keterasingan diri sendiri. Orang yang mengerti pada hal itu akan merindukannya. Terlebih ia saat merasa jauh dengan dirinya sendiri. Manusia membutuhkan kesadaran dan hidup butuh direfleksikan.

Hal seperti ini membuatku makin termotivasi untuk menulis. Merangkai kata menjadi Deep Talk. Untuk membicarakan cinta dan usaha mencintai hidup. Untuk menceritakan kebaikan dan mengajak pada yang baik. Walaupun kata "mengajak" tidak pantas untuk orang sepertiku. Sebab dalam sebuah ajakan, sang pengajak harus sudah lebih dulu masuk. Atau minimal tahu arah yang dituju. Mungkin lebih tepatnya bukan mengajak, tapi mendiskusikan pada perspektif yang baik. Karena mungkin yang baik menurutku itu salah, dan aku jelas belum orang baik.

Harus kuakui, terkadang aku berusaha membuat orang terkesan. Walau apa yang dibicarakan bukanlah hal yang perlu. Namun ketika orang terkesan dengan apa yang kita bicarakan, bukan pada siapa yang berbicara, bagiku itu jalan sebuah nilai. Aku jadi merasa bahwa, sebenarnya diri kita tak begitu berharga. Apa yang kita buat dan itu bernilai, rasanya lebih penting dari siapa kita.

Sebagaimana pesan Ayah Professor Doktor Quraish Shihab dalam autobiografinya. "Hindari ketenaran dan popularitas, berusahalah untuk menata dan meluruskan niat". Yang kutangkap dari pesan itu adalah usaha untuk menata dan meluruskan niat. Popular atau tidak, biarkan niat itu yang menemui jalannya sendiri.


Komentar