#2

Sampai di Stasiun Gambir pada siang yang biasanya sudah cukup terik. Namun cuaca di Jakarta juga hujan. Tidak cukup deras, namun suasana tampak basah dan agak dingin. Badanku tidak merasakan perubahan suhu yang drastis. Serasa hawa biasa dalam ruang yang berbeda. Stasiun gambir yang dulu kulihat di TV, tampak mirip stasiun Kota Malang, kini terlihat menjadi stasiun yang mewah. Sudah ada lift dan eskalator, tempat duduk yang unik dan nyaman, dan ternyata juga ada tempat untuk pijit. Rasanya sudah banyak setasiun yang meng-upgrade penampilannya menjadi keren seperti ini. Menjadi lebih nyaman dan lebih instragrameble.

Melihat kereta api dan stasiunnya yang semakin rapi, membuatku sadar bahwa kehidupan sosial semakin membaik. Walau pun semua itu tidak boleh lepas dari kritik, sebab masih banyak ketimpangan yang terjadi.

Aku duduk di sebuah bangku spons, yang didesain panjang dan meliuk seperti setengah lingkaran pada angka delapan. Sambil men-charger ponsel, kupandangi dari jauh foto-foto yang dipajang cukup besar di samping tangga. Tampak di sana ada mantan Gubernur yang saat ini digadang-dagang menjadi calon presiden, dan orang-orang penting di PT, KAI-Persero yang entah sedang apa. Dari balik kaca tampak hanya gerimis kecil di luar. Lalu aku mulai berpikir akan ke mana.

Oke, saat ini aku sudah tiba di Jakarta. Sendirian. Ada teman yang bisa kuhubungi untuk bertemu, tapi kupikir saat ini mereka sedang bekerja. Acara di hotel masih 4 jam lagi dan hanya berjarak sekitar dua kilo dari sini. Saat keluar dari stasiun ini aku sudah akan bisa melihat MONAS, dan di sekitarnya ada tempat yang bisa di kunjungi. Atau setidaknya aku bisa memotretnya sebagai tujuan dari perjalanan. Ketika pengisian daya kurasa cukup untuk perjalanan, aku keluar dari stasiun dengan berusaha bersikap seperti sudah terbiasa di Jakarta. Tidak clingak-clinguk atau bingung dengan suasana baru yang ada.

Berjalan ke kanan dari pintu keluar setasiun sambil melihat tanaman hijau di pinggiran MONAS. Suasana memang terasa gerimis, namun aku cukup menikmatinya. Sebagian orang berjalan sambil membawa payung. Ada juga yang memakai jas hujan plastik. Namun aku merasa gerimis ini tak akan membuatku basah kuyup.

Antara Museum Nasional dan Perpusnas, aku lebih memilih Museum Nasional. Sebab waktu akan lebih kondusif jika di sana. Aku tak bisa membayangkan akan berapa lama aku membaca buku. Namun menjelajahi satu gedung dalam waktu dua jam, kupikir itu akan cukup. Aku hanya memotret Perpusnas dari seberang jalan. Semoga lain waktu dan kesempatan akan ke sana.

Berjalan sambil mengamati sekitar, menaiki jembatan penyebrangan sambil melihat mobil berhenti dan melaju, mengingatkanku pada lagi di album terbaru Efek Rumah Kaca yang berjudul Jalan Enam Tiga. Tampaknya lagu itu merupakan bentuk lain dari istilah “warga +62.. yang ramai di twitter. Tapi sepertinya bukan. ERK selalu tidak menunjukkan kedangkalan dalam karyanya. Aku memang tidak mendengarkan lagu ERK setiap saat. Namun pada saat-saat tertentu aku merasa membutuhkannya. Lagu yang bagus adalah, ketika pesannya tidak lebih dominan dari  seninya. Kita tahu lagu itu bagus dan kita menikmatinya, dan kita tahu ada pesan di dalamnya. Saat pesan dari sebuah lagu tampak lebih dominan dari seninya, lagu itu hanya akan mampir untuk waktu yang tidak lama. Kita bisa melihatnya di lagu-lagu religi yang hadir saat bulan puasa. Tentu tidak semunya, tapi sebagian besar begitu.



Sambil merenung. Aku berjalan dan memotret, baik sesuatu yang aku anggap menarik, atau hanya sekedar sesuatu yang tampak. Sebab memang tidak semua hal menarik dan berkesan, juga tidak semua hal dapat kutangkap kesan dan pesannya. Tidak langsung masuk ke museum nasional, aku berhenti pinggir jalan di depan gedung itu. Di luar pagar.

Komentar