Halan-halan #1

Selasa malam, aku senang ketika dikabari harus pergi ke Jakarta. Apalagi hanya sendiri. Terbayang suasana jalan-jalan setelah banyak kegiatan yang terasa biasa. Dalam benakku, aku akan bertamasya dan menelusuri kota besar, yang sampai saat ini masih menjadi ibukota.

Tidak butuh waktu lama untuk mempersiapkan alat dan dokumen yang dibutuhkan. Selebihnya adalah mencari jadwal kereta dan menghubungi teman yang ada di sana. Tidak semuanya bisa menemui, mengingat hari ini kita memiliki kesibukan masing-masing. Pada akhirnya aku berkesimpulan, bisa bertemu atau tidak bukanlah hal yang penting. Mendengar kabar kalau mereka sehat tampak lebih penting. Yang lebih penting lagi adalah mendengar jawaban mereka saat aku bertanya, “Apa kamu bahagia?”, dan mereka menjawab, “Ya, aku bahagia”. Setidaknya pertanyaan itu membuat kita sama-sama sadar pada satu hal yang sangat penting.

Aku memilih berangkat dengan kereta jam lima pagi. Tepatnya pukul 04:55. Dalam tiketnya, kereta itu akan sampai Stasiun Gambir menjelang jam 10 siang. Padahal undangan di hotel baru dibuka jam 2 siang. Dalam benakku, aku ingin memanfaatkan waktu yang lapang itu untuk jalan-jalan terlebih dahulu. Memasuki kereta eksekutif membuatku ingin langsung tidur dalam perjalanan. Namun tampaknya aku masih belum mampu terlelap, walaupun pikiranku sudah cukup mengantuk, sebab semalaman belum tidur. Secara refleks aku pun memainkan Ponsel. Membuka WhatsApp, update status, dan menjawab pertanyaan orang-orang yang bertanya setelah itu.

Belum sampai satu jam perjalanan, kulihat hujan dari jendela. Titik-titik air pun terus membasahi jendela. Aku langsung teringat dengan puisi Chairil Anwar yang berjudul Dalam Kereta. Mungkin memang begitulah hukumnya. Ketika kamu menyukai sesuatu hal, apa yang dekat dengannya akan langsung membawamu padanya. Aku pun memotret jendela yang menebal oleh hujan itu, dan kemudian melamun dalam ingatanku pada sang penyair angkatan 45.


 

Dalam Kereta

 

Dalam kereta.

Hujan menebal jendela


Semarang, Solo..., makin dekat saja

Menangkup senja.

 

Menguak purnama.

Caya menyayat mulut dan mata.

Menjengking kereta. Menjengking jiwa,

 

Sayatan terus ke dada.

 

 

15 Maret 1944

 

Melamun tidak membuatku terlelap. Justru pikiran malah jadi melayang ke mana-mana. Kuletakan ponsel dan kuambil buku yang tempo hari kubeli. Sebab melawan sepi dengan menggunakan ponsel malah akan menyulitkanku untuk tidur. Lebih baik aku melawannya dengan membaca buku. Strategi melawan sepi menjadi sangat penting hari ini, mengingat gawai menjadi pilihan yang paling mudah, dekat, dan nyaman. Namun terkadang gawai itu tidak hanya menemani kita dalam sepi, tapi juga menghisap kebosanan kita, dan mengisi kepala kita dengan “sampah”.


Menurutku, kebiasaan ber-internet dan ber-gadget yang baik akan membuat kita melawan sepi dengan baik, termasuk juga aktivitas lain seperti membaca buku. Saat kita memiliki kesadaran untuk melawan sepi, kita tidak akan dengan mudah Terbunuh Sepi, seperti dalam lagu Slank yang bagus itu. Lagu yang katanya menginspirasi Cholil Mahmud(Efek Rumah Kaca) dalam membuat lagu Hujan Di Bulan Desember.

 


Buku itu pun sukses membuatku tertidur, yang kemudian dibangunkan petugas dengan cukup memaksa saat sampai di Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"