#5 Dua Pertemuan


Kita lanjut pada perjalanan setelah aku sampai di hotel. Sebagaimana prosedur pertemuan pada umumnya, aku datang dan kemudian mendaftar ke resepsionis acara untuk mendapat nomor kamar. Setelah itu hanya beraktifitas mengikuti skema acara yang ada. Aku bahkan tidak terlalu fokus, dan cukup banyak tidur saat ada sambutan, sebab energiku sudah habis untuk perjalanan siang tadi.

Bahkan besoknya aku masih merasa agak ngantuk saat mengikuti acara pagi. Namun karena kegiatan itu cukup inti, aku menguatkan diri untuk tetap fokus pada permainan. Hingga waktu sore tiba, aku sudah tidak tertarik lagi dengan apa yang terjadi. Kuputuskan untuk menghubungi teman yang kini sedang bekerja di Jakarta Utara.

Aku menyuruhnya datang ke tempatku naik ojek online. Terlalu ribet jika aku harus datang ke tempatnya, atau membuat pertemuan di sebuah tempat. Di daerah metropolitan seperti, kebanyakan waktu kita hanya akan habis di jalan. Ada banyak pihak yang bisa disalahkan, di saat yang sama kompleksitas masalah juga tidak bisa dipahami bersama.

Dia bersedia datang, dan aku mengajaknya untuk ngopi di kafe yang berada di depan resepsionis. Memesan dua kopi yang begitu mahal untuk alasan ngobrol. Mulai dari alasan kenapa aku ke Jakarta, bagaimana kondisi dia selama setahun lebih di sini, pengalaman apa saja yang dia dapatkan, juga banyak hal ganjil -jika tidak bisa dibilang Amoral- yang dia keluhkan.

Hingga akhirnya sampai pada dia bicara mengenai diriku. Tentang seseorang yang menurut dia masih sangat mencintaiku, dan dia juga tahu aku masih bersikap sebaliknya. Baginya, dia masih cukup gengsi untuk mengakui. Juga mungkin terjebak dalam ketidakenakan yang membuatnya enggan memilih bersamaku.

Dia seakan meyakinkan kalau pada akhirnya, yang terbaik kita akan berdua. Walau kurang yakin dengan itu, aku sedang dengan apa yang dikatakannya. Mungkin aku memang belum mencapai level benar-benar pasrah dalam hal ini. Namun aku menyadari kalau tak sepenuhnya akan bisa kembali bersamanya.

Obrolan sore itu begitu jujur dan apa adanya. Tidak menutupi untuk gengsi, dan juga tidak semata menghibur diri. Dalam tempat pertemuan yang biasanya untuk berbisnis, kami ngobrol tentang diri sendiri, dan untuk diri sendiri. Salah satu momen terbaik bagiku adalah, saat orang mengalir saling ngobrol tanpa hubungan transaksi.

Pada jam empat sore, dia sudah harus kembali ke tempatnya. Ada banyak tugas yang harus dia kerjakan. Waktu begitu berharga baginya, dan dia menghargaiku dengan memberikan sebagiannya. Bahkan saat menjemput ojek online, saat aku berusaha untuk membayarkan ongkos perjalanannya, dia menolak. Sebuah penolakan yang membuatku menangkap sebuah makna. Tentang pertemanan. Tantang sikap untuk ikhlas.

Aku kembali ke kamar untuk membersihkan badan, dan masih saja aku enggan untuk mengikuti pertemuan. Aku pun menghubungi teman lain. Dia menyediakan waktunya untuk ngopi di sebuah tempat yang sering dikunjunginya. Sebuah warung kopi, dengan sajian kopi khas Aceh. Aku datang ke sana dengan mengikuti petunjuk google map dalam peta aplikasi ojek online.

Aku memesanya di depan hotel. Saat aku ingin mencopot kopyah untuk memakai helm pemuda itu bilang. “ Kopyah-nya tidak usah di copot mas. Gak usah pakai helm. Biar kelihatan santrinya. Tempatnya aman kog, gak ada tilang polisi”. Aku pun mengikuti saran tukang ojek tersebut. Bukan karena aku sepakat dengannya, tapi aku tak ingin takpak bersikap sok padanya.

Di jalan kami ngobrol soal tujuan kedatangaku kemari. Dari cara bicaranya, aku bisa mengira bahwa dia orang betawi, dan setelah kutanya aslinya ternyata benar. Saat melewati tempat-tempat di Jakarta Pusat, dia bicara soal acara yang akan ada di tempat itu, barangkali aku masih di Jakarta dan ingin mengunjungi.

Hingga pada akhirnya melewati MONAS, dia bercerita soal menjadi bagian dari 212. Dia bicara panjang lebar soal peristiwa itu. “Wah, saya dulu saksi hidup peristiwa itu di sini mas” begitu katanya pertama kali. Hingga menjelar ke soal penistaan agama dan lain sebagainya. Aku mengikuti ceritanya untuk menghargai apa yang dia ceritakan. Bisa kusimpulkan bahwa, cara pandang dan sifat keislaman orang betawi itu cukup taat dan kuat, tidak sebagaimana Islam Abangan dalam bayanganku. Hal itu pula yang nantinya ku obrolkan bersama temanku di warung kopi.

Cukup lama aku menunggunya. Sambil memesan Kopi Sanger dan juga camilan. Aku cukup gaguk untuk membayar lebih dulu, sebagaimana umumnya warung kopi di Jogja, warung kopi di sini tidak harus membayar dari awal. Aku menjadi cukup sadar, kalau kebiasaanku dan cara pandangku belum bergeser dari Jogja.

Aku lupa tidak membawa rokok, hal yang kupikir sebuah kesalahan. Duduk sendiri di depan pintu sambil main ponsel rasanya cukup merepotkan. Cukup melegakan ketika melihat dia datang dan membuatku ada teman ngobrol. Pada akhirnya kami memutuskan untuk ngobrol di No Smoking Area. Aku jadi berpikir bahwa, tidak membawa rokok bukan menjadi masalah.

Kami cerita dari mulai soal kabar masing-masing, sampai pada perasaan dan kenyataan yang harus dihadapi dengan jalan yang di pilih. Aku cukup memujinya karena sudah beranjak dari pencarian menuju pencapaian-pencapaian yang cukup solid. Bahkan itu bukanlah yang bisa kuraih. Ketika membahas soal perasaan masing-masing. Tampaknya cukup sama-sama rumit untuk diwujudkan. Namun pada akhirnya memang terasa cukup ringan, sebab cerita dengan jujur itu memang meringankan.

Cerita mengalir sampai mungkin jam 11 malam. Hingga akhirnya aku berpamit pulang, dan dia yang membayarkan tagihannya. Rasanya cukup senang, bisa menceritakan ini lagi di sini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"