Rasa Ingin Dipahami
Belakangan ini aku tidak menulis status di-WA. Bahkan
tampak tidak pernah. Hanya sekali membagi foto di awal puasa. Ada rasa enggan
untuk dilihat orang begini atau begitu. Lebih ingin menyimpan semua perasaan
dalam diri. Mencoba menjadi misteri, walau sebenarnya tidak begitu penting. Bahkan
sama sekali tidak penting.
Diakui atau tidak, ada perasan ingin- atau mungkin- berharap
dipahami orang lain saat diri ini mengunggah sesuatu. Apalagi jika itu
dilakukan di media sosial yang paling privat dalam ponsel. Perasaan itu
membutaku bertanya pada diriku sendiri, benarkan aku ingin dipahami orang
lain? Tidak. Kesadaranku menjawab begitu. Aku tak ingin dipahami orang
lain. Aku ingin menyelesaikan sengkarut dalam perasaanku sendiri. Tak peduli
berapa lama dan berapa susah.
Aku memang membuat sedikit cuitan di twitter. Namun hal itu
kulakukan dengan sedikit kesadaran. Lebih banyak hasrat untuk menunjukkan bahwa
aku masih ada, dan sering membuka media sosial yang satu itu. Untuk melihat
info yang ramai, update mengenai berita olahraga, dan kegiatan tidak penting
yang tidak bisa kukatakan di sini.
Malam ini aku menjadi sunyi dengan diriku sendiri. Sesekali menanyakan
diri dengan pertanyaan yang sama. Apakah aku ingin dipahami? Begitu bodohnya
pertanyaan ini. Pertanyaan yang mungkin bagi sebagian besar orang sebaiknya
diabaikan. Jalani saja apa adanya dan jangan mempertanyakan hal-hal bodoh
seperti ini. Begitu mungkin sebaiknya.
Aku sendiri kutang tahu, apakah perasaan ingin dipahami itu
baik atau buruk. Namun itu memalukan. Setidaknya memalukan pada diri sendiri. Untuk
apa juga orang tahu tentang isi hati dan pikiranku lewat status WA. Alan
lebih baik jika dituliskan dalam esai atau puisi yang baik. Saat hal itu hal
itu sudah bisa dituliskan lewat puisi atau esai, hal itu bukan lagi perasaan
sesaat. Tapi perasaan yang sudah dimasak. Setidaknya secara pribadi.
Atau ada juga pandangan lain yang kemarin kudapatkan. Mengenai
rasa kekecewaan dan kejengkelan pada seseorang. Selama hal itu tidak diceritakan
kepada orang lain, selama masih hanya menjadi perasaan dalam diri, terpendam
dan tidak berharap orang lain tahu. Maka hal itu tidak akan menjadi keburukan. Kita
kadang kecewa, jengkal, bahkan marah dengan orang tua, dengan guru, atau dengan
teman. Namun selama itu tidak diceritakan kepada orang lain hal itu tidak akan
menjadi keburukan. Hanya butuh kuat untuk menyimpan semua itu dalam diri.
Tersinggung dan jengkel seketika itu cukup manusiawi. Namun memang
tidak banyak orang yang bisa menahan dan menyimpan kejengkelannya agar tidak
keluar. Bahkan aku sendiri masih kesulitan. Mungkin aku bisa menahan mulut
untuk tidak mengungkapkannya, tapi sikapku cukup sulit untuk mengabaikannya. Selalu
ada rasa emosional walau omonganku tidak begitu. Kupikir ini ujian berikutnya. Tidak
bersikap emosional. Tenang dan datar.
#
Saat ini aku tengah membaca Dunia Kafka karya Haruki
Murakami. Walaupun belum selesai, senang sekali rasanya membaca itu. Isinya luar
biasa. Membawaku hanyut dalam narasi cerita. Seakan diriku memang butuh sesuatu
untuk ‘pergi’ dan ‘tenggelam’, dan pada akhirnya tempat itu adalah buku. Bukan kerja,
bukan amalan tertentu, bukan kitab suci, bukan buku religi. Pelarian itu hanyalah
sebuah novel surealis yang sudah sangat terkenal penulisnya.
Satu lagi hal masih tercatat dikepalaku. Aku terlibat dengan
aktifitas kepengurusan dan lembaga akhir-akhir ini. Tidak banyak menguras
energi, tapi sebagian cukup emosional. Tampaknya akan terjadi hal-hal yang
membuatku berkonflik dengan orang lain. Entah soal pendapat, keputusan, maupun
soal tindakan. Sampai saat ini aku masih merasa bisa menjaga diriku dengan
kesabaran. Walau bagi orang lain sudah tampak emosional. Aku merasa sudah cukup
bertindak tidak atas kepentingan pribadi, yang mana aku tidak ingin akan adanya
masalah pribadi pula. Namun jika hal itu pada akhirnya terjadi, aku tak ingin
bertindak terlalu bodoh. Terlalu mementingkan ego sendiri.
Keterlibatan seperti ini menjadikanku berharap untuk tidak
terlalu emosional. Andai nanti aku bertindak sepihak dan arogan, semua itu
bukan karena egoku. Namun lebih karena kepentingan umum yang ada. Semoga aku
tidak bertindak marah dengan orang karena aku dihina atau direndahkan, tidak
marah pada orang karena emosiku padanya. Tapi karena menjalankan yang sebaiknya
bagi keadaan ini. Tidak penting diriku atau harga diriku. WTF dengan semua
itu. Semoga aku kuat menjalani ini.
Allhamdulillah, Saur malam ini nikmat sekali.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya