Didengarkan

Dari jam 10 sampai jam 12 tadi aku ngopi. Di rumah salah seorang kenalan yang membeli kopi. Bicara ngalor-ngidul. Tentunya diawali dengan topik sepakbola. Kemudian berlanjut pada hal-hal sensitif. Tidak penting apa yang dibahas. Aku sendiri tidak cukup antusias. Lebih banyak mendengar cerita mereka tentang apa saja. Mungkin juga dengan perasaan agak canggung. Terutama saat bicara mengenai pernikahan dan rumah tangga. Bukan soal pribadiku tentang pernikahan, tapi lebih pada kacamata sosial. Ini memang rumit, dan aku masih terpengaruh kala mengalaminya.

Sepulangnya, temanku mengajak ziarah ke sebuah makam. Mungkin besok atau kapan. Aku langsung mengiyakan. Lebih sebagai reflek diri. Bukan karena aku bersemangat melakukannya. Sebab mungkin aku merasa kurang dekat dengan Tuhan. Kurang akrab, bahkan cenderung banyak menjauh. Ada kecenderungan rasa kalau doaku sulit diterima. Sulit terkabul. Mungkin itu alasan kenapa aku tidak rajin berdoa. Mungkin juga sebab pribadiku yang kurang disiplin. Kurang rapi dalam menata hidup. Termasuk juga dalam melakukan ibadah. Ah, konyol sekali.

Sore tadi aku membuat twit. Terpikir dalam benakku kalau satu keistimewaan hidup itu ada dua.

Kurasa kalimat ini benar. Sebab aku belum menemukan bantahannya. Namun aku sendiri juga ragu kalau itu mutlak. Masih ada banyak hal yang tidak kumengerti. Masih banyak pelajaran hidup yang belum kudapatkan. Maka sudah seharusnya kutambahi dengan kalimat akhir, bahwa Tuhan selalu menganugerahkan yang terbaik untuk kita.

Aku sendiri masih bertanya pada diriku sendiri. Apakah Tuhan menganugerahkan yang terbaik untuk ku? Kenapa aku masih tidak banyak bersyukur?

Aku sudah menulis sesuatu yang belum benar-benar kuyakini. Seperti sebagian orang yang hanya banyak bicara. Tak mau berusaha mengerti. Bahkan mungkin, walau tidak pernah kuungkapkan pada orang lain, juga dalam tulisan. Sebenarnya aku cukup banyak mengeluh, dan banyak berpaling dari anugerahNya. Lebih memilih terbawa nafsu yang kuanggap sebagai obsesi.

Setelah sampai di kamar, aku melakukan hal biasa. Mungkin saat ini aku malu jika menganggap itu sebagai ibadah. Masih melayang ke mana-mana. Masih banyak tidak fokus dan tidak serius.

Mungkin sebaiknya aku tahu diri. Dosaku masih banyak, ibadahku tidak serius dan permintaanku terlalu egois. Tidak layak bagi hamba rendahan untuk meminta terlalu tinggi. Itu konyol. Konyol untuk menghrapkan permintaannya dikabulkan. Bahkan mungkin doaku tak layak untuk didengar.

Namun diriku yang lain memberitahuku. Ia seperti berbisik di kepalaku, juga menulis dalam pikiranku, bahwa Dia maha mendengar. Dia maha tahu, bahkan yang tak pernah kau ucapkan dan tak pernah kau tahu. Dia tahu apa yang ada di darahmu, saat kamu sendiri tak sampai memikirkannya.

Mungkin inilah salahku. Aku berusaha agar dia mendengar doaku. Ini sama artinya aku meremehkan. menganggap kalau kadang-kadang Dia tak mendengar.

Kini aku harus sungguh-sungguh meyakini kalau Dia maha mendengar. Dari setiap doa yang kuucapkan, atau keluh kesah apa saja yang tak kuucapkan, dia pasti mendengarnya. Pasti.

Sebagaimana kebiasaanku pada orang, aku berusaha menyenangkannya dengan cara mendengarkannya. Sebab kukira itulah hal yang dia harapkan. Sebab itu juga yang hanya bisa kulakukan. Penghargaan tertinggi pada manusia adalah ketika kata-katanya didengar. Seharusnya aku merasa sangat dihargai dengan itu. Seharunya aku merasa sangat cukup telah didengarkan olehNya.

Allahukafi, Robbunalkafi. Ya Allah, Allhamdulillah atas anugrahmu, menganugrahiku pengetahuan bahwa Engkau maha mendengar.



Komentar