Jari-jariku
Sudah terlalu banyak aku menulis harapan-harapanku dalam hidup. Namun tampaknya masih sedikit tekat untuk melakukannya. Tak ada gairah untuk mewujudkannya. Membuatku bingung apakah aku benar-benar menginginkannya. Padahal harapan perlu diwujudkan. Perlu dikerjakan untuk mewujudkannya. Harapan tanpa amal hanyalah angan-angan.
Kini aku seperti harus memilih antara berada di ranah ide
atau di ranah praktis. Ada banyak hal sistemik yang bisa kukerjakan. Juga banyak
hal praktis yang bis dilakukan. Namun aku masih enggan untuk fokus dengan salah
satunya. Masih ingin bisa merangkul keduanya. Padahal jelas tidak bisa. Satu hal
saja belum tentu. Masih berkutat di persimpangan.
Masalah utama saat ini adalah, tidak bisa tidur sebelum jam dua
belas malam. Jam sepuluh apa lagi. Tadi malam aku berencana untuk tidur sebelum
jam tengah malam. Setelah mengerjakan rekap data, aku mematikan lampu dan memutar
Ngaji Filsafat dari Pak Faiz. Entah sampai berapa episode, ternyata aku masih
terjaga. Kuputuskan untuk bangun dan menghisap rokok 234, bahkan sampai hampir
habis 2 batang, aku pun belum juga ngantuk. Hasrat membaca sedang tidak ada. Aku
pun malah melamun ke mana-mana. Dalam pikiranku mengatakan, “Seharusnya aku
tidur, sebab besok ada pekerjaan”.
Pada akhirnya aku tertidur sebelum subuh. Rasanya diri ini
menjadi lemas sendiri setelah dibawa pikiran melanglang buana. Menyingkap hal-hal
di masa lalu yang membangkitkan rasa bersalah.
Aku pun bangun hampir jam sepuluh pagi. Pekerjaanmu menjadi
urung tertinggal. Beruntung ada yang menggantikan peran itu. Sehabis dulur aku
tak enak untuk tiba-tiba datang dan melanjutkan. Tidak enak mengakuisisi
tentang apa yang sudah dibangun orang lain. Kubiarkan saja mereka berjalan dan
mengambil keuntungannya.
Sehabis magrib seseorang mendatangiku. Menyetorkan beberapa
uang untuk apa yang sudah kusiapkan. Hasil yang sebenarnya aku tidak
mengharapkannya. Kupikir hasil itu lebih layak pada yang sudah bekerja dan melakukan
sesuatu. Termasuk juga bagi yang sudah disiplin bangun pagi. Tapi dia memaksa
dan mengatakan sudah menyisakan untuk dirinya sendiri. Aku pun akhirnya bisa
menerima. Dia meletakkan di samping mejaku, dan sampai saat ini aku belum
menyentuhnya. Hanya memandangnya beberapa kali.
Ada saat-saat aku merasa bodoh sebab tak melakukan upaya
apa-apa, yang akhirnya juga tak menghasilkan apa-apa. Namun di sisi lain juga
ada kesadaran kalau hidup sudah digariskan. Ini seperti perdebatan antara
Qodariyah dan Jabariyah di dalam ilmu kalam. Yang aku pernah pelajari adalah,
kita ini mengikuti pemikiran Asyariyah. Kita tidak boleh sepenuhnya Qodariyah
atau fatalis, namun juga tidak beloh menganggap diri Jabariyah atau
eksistensialis. Kita adalah wakil Tuhan di bumi. Mewakili sifat, wujud dan
amal. Tuhan adalah maha mewakilkan. Maka, apa pun yang ada pada diri kita adalah
karunia Tuhan, termasuk apa yang sudah kita kerjakan dan hasilnya. Saat kita
hanya pasif atau malah berbuat dosa, berarti kita malah medzolimi karunia Tuhan.
Sebab kita menyia-nyiakan karuniaNya. Kita juga menyelewengkan karunia yang
kita terima dari sifat Tuhan.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya