PENSIL

Saat di warung kopi tadi aku juga membaca kumpulan cerpen Virgiana Wolf. Kugunakan pensil ini sebagai pembatas buku. Kini setelah salat asar, kugunakan pensil ini untuk menulis. Menulis menggunakan pensil seperti masuk dalam perjalanan batin. Sebuah dunia yang sering tidak logis dan berantakan, sering redup dan karatan. Juga sering rapuh dan kerontang.

Kubeli pensil ini seminggu yang lalu, saat aku di toko buku untuk membeli kertas dan pulpen. Entah kenapa aku tertarik untuk memiliki satu pensil. Tak ada alasan masuk akal. Hanya tertarik. Juga merasa rindu. Mungkin ada rasa romantik di sana, bahkan terlalu romantik.

Melihat pensil ini dipajang di antara beberapa pulpen. Benda kayu itu tampak kesepian. Mungkin karena kawan-kawan pulpennya sudah banyak berganti. Kawan lama pergi dan digantikan kawan baru yang persis sama. Setelah lama mengenal pulpen itu. Pensil itu menjadi tahu, kalau semua pulpen yang dia kenal sama saja. Tak ada yang spesial dari jiwanya. Jiwa pabrikan.

Semua benda terpajang menarik, termasuk pensil itu. Namun saat yang kulihat, pensil-pensil itu masih terlalu penuh. Tampak sedikit sekali yang tertarik padanya. Mungkin ini bukan salah bagaimana dia ditempatkan, tapi tentang bagaimana orang-orang menganggapnya. Di sebuah desa kecil tempat pada petani dan pedagang. Anak-anak SD membeli pensil di koperasi sekolah mereka. Tidak di toko ini. Hal seperti ini lebih baik untuk keuangan di sekolah.

Juga tak ada arsitek atau pelukis yang datang ke sini. Dan entah sebab zaman apa sebagai alasannya. Pensil-pensil ini tetap tertahan dan bertahan di keranjangnya. Karena masih setia dan terpaksa.

Pensil cenderung dekat dengan anak SD, begitu dalam pengalamanku. Saat kita sedang belajar dalam menulis. Membeli pensil mungkin sebuah isyarat padaku untuk belajar menulis terus menerus. Saat SMP kita sudah lebih banyak menggunakan pulpen. Lebih lagi saat di SMA. Matematika adalah pengecualian dari itu semua. Pelajaran berhitung itu selalu mengakrabkan kita dengan pensil. Sebab benda itu lebih bisa mengerti dengan kesalahan yang terjadi. Lebih mudah untuk menghapus kesalahan dengan pensil. Mungkin Tuhan menjadikan ide sebuah pensil pada manusia agar kita lebih mudah menghapus kesalahan. Menjadikannya seakan tak pernah ada.

Pensil dan penghapus membuat kita tampak jauh dari kesalahan. Kita bisa membersihkan sesuatu yang tadinya salah dan bodoh. Berbeda dengan pulpen, walau ada stipo bersamanya, kesalahan yang sudah terjadi akan tetap tertandai. Kedua alat ini digunakan oleh kita, manusia, tempatnya salah dan lupa. Dari pensil kita belajar untuk menghapus kesalahan dan melupakannya. Dari pulpen kita belajar untuk menerima adanya kesalahan dalam hidup kita. mungkin kesalahan-kesalahan itu mengajarimu sesuatu. Begitu kata Paulo Coelho dalam novel Brida.

Kutandai beberapa kalimat pada cerpen Virginia Wolf. Rasanya cukup nyaman menggunakan pensil ini. Lebih sederhana dan tetap membekas.

Wolf terkenal dengan presentasi mengenai dunia batin dalam tulisannya. Masuk dalam tulisannya berarti masuk dalam dunia batin, dunia yang absurd, tidak logis, melompat-lompat dan juga berputar-putar. Entah kenapa aku cukup menikmatinya sewaktu membaca satu karyanya di internet. Kenikmatan itu membuatku membeli salah satu esainya yang begitu panjang. Tentang penulis yang membutuhkan kamar sendiri. Yang dia maksud di sini adalah penulis wanita. “Kamar” dalam hal ini bermakna banyak hal, tidak hanya privasi, namun juga penghasilan yang memadahi, juga pendidikan yang sederajat dengan kaum pria.

Aku tak begitu mengerti kenapa aku menandai kalimat-kalimat ini. Barangkali ada hubungannya dengan kondisi batinku juga.

....Pasangan hantu itu mencari kebahagiaan mereka.

.....Hanya dengan melihat lereng dan cekungan berwarna abu-abu dan ungu dari lanscap musim dingin, aku membaca pesannya, menguraikan rahasianya, membaca melalui tatapan matanya.

.....Jadi kira-kira, apa yang ia pikirkan ketika duduk di jendela pada jam tiga sore? Kesehatan, uang, tagihan, Tuhan?

.....Tidak, karena aku jamin aku datang dengan sukarela; aku datang karena tertarik oleh entah apa pun yang ada di antara tanaman pakis dan bejana, di antara meja kotor dan botol bekas. Aku datang tak terelakkan dan menempatkan diriku di suatu tempat di dalam daging yang kokoh, di tulang punggung yang kokoh, di mana pun aku bisa memasuki dan menemukan pijakan pada seseorang, pada jiwa seorang Moggridge ini.

Ia adalah jiwa yang meratapi takdirnya, jiwa yang diaombang-ambing ke sana ke mari, jiwa yang tinggal di karpet yang semakin menipis – pijakan yang sempit – serpihan-serpihan yang menyusut dari semua alam semesta yang lenyap – cinta. Kehidupan, iman, suami, anak-anak, aku tak tahu apa pun tentang kemegahan dan kemewahan seorang gadis di masa muda. “Itu bukan untukku – bukan untukku”.

.....Ia akan pergi. Berani, berani! Hadapi itu, jadilah berani! Demi Tuhan jangan menunggu di atas tikar sekarang! Itu pintunya! Aku ada di pihakmu. Bicaralah! Hadapi dia, dan guncang jiwanya!

Itulah beberapa halaman yang kutandai. Absurd bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"