Sang Penghibur


 Setiap perkataan yang menjatuhkan

Tak lagu kudengar dengan sungguh

Juga tutur kata yang mencela

Tak lagi ku cerna dalam jiwa

Aku bukanlah seorang yang mengerti tentang kelihaian membaca hati

Ku hanya pemimpi kecil yang berangan, tuk merubah nasibnya

Tabuhan drum dari Yoyo mengawali lagu itu. Setelah lama berdiri untuk menunggu penampilannya, akhirnya “Sang Penghibur” itu datang. Sudah ku prediksi kalau lagu itulah yang akan menjadi song-list pertama. Aku tak bisa menahan diri untuk ikut bernyanyi dan melambaikan tangan. Band ini bukan hanya idola, tapi juga pengisi jiwaku.

Oh, bukankah ku pernah melihat bintang

Senyum menghiasi sang malam

Yang berkilau bagai permata

Menghibur yang lelah jiwanya, yang sedih hatinya

Ku hayati lirik itu ketika aku bingung dan lelah. Sering berharap dalam hati, “kapan bisa melihat langsung mereka bernyanyi?” sempat aku merasa tidak bakal memiliki kesempatan untuk ini. Mungkin nanti mereka sudah sama tua dan tidak banyak konser. Tapi takdir berkata lain. Mereka hadir di tempat yang aku tak pernah menduganya. Langsung kubatalkan hal-hal lain, aku hanya ingin menonton konser itu. Ponselku kuatur dalam modus terbang sejak magrib. Ini waktu sakral untuk menyaksikan Padi.

Allhamdulillah. Aku sering berharap sendiri, semoga suatu saat bisa menonton Padi. Rasanya ini adalah anugerah. Hal yang tampaknya sulit kulakukan, ternyata datang dengan tak terduga. Begitu indah ketika sebuah harapan bertemu dengan kenyataan. Keindahan ini mengingatkanku untuk tidak berhenti berharap.

Harapan tidak selalu bisa menjadi nyata. Tapi saat memilikinya, kita jadi tahu apa yang benar-benar kita inginkan. Tidak hanya ikut dalam keramaian. Hal ini penting mengingat budaya populer lebih banyak mengajak untuk ikut dalam keramaian, dan terkadang kita tidak benar-benar menyukainya. Selagi bisa, berharaplah apa yang kamu ingin. Biar waktu dan langkah hidup yang akan menjawabnya.

Kugerakkan langkah kaki di mana cinta akan bertumbuh

Kulayangkan jauh mata memandang tuk melanjutkan mimpi yang terputus

Masih kucoba mengejar rinduku, meski peluh membasahi tanah

Lelah penat yang menghalangiku, menemukan bahagia

Mengidolakan Padi tidak hanya soal musiknya, tapi juga kisah kebersamaan mereka. Band kampus Universitas Airlangga itu tidak pernah berganti personil, bahkan hingga dua dasawarsa. Memang mereka pernah vakum selama 6 tahun. Kabarnya ada konflik internal. Piyu membuat Album Solo, sedang Rindra, Yoyo, Fadli dan Ari membentuk MUSIKIMIA bersama Stefan Santoso. Namun pada akhirnya mereka kembali bersama. Lengkap seperti semula. Seperti lagu mereka untuk serial Upin-Ipin, Sahabat Untuk Selamanya. Padi adalah mereka berlima, dan akan tetap begitu. Tak ada satu pun yang mampu menjadi seperti Padi, musiknya, juga orang-orangnya. Kuwalitas itu teruji oleh waktu.

Oh, bukankah hidup adalah perhentian

Tak harus kencang terus berlari

Kuhelakan nafas panjang, tuk siap berlari kembali

Melangkahkan kaki, menuju cahaya

Aku berangkat langsung sehabis magrib. Tidak berharap mendapat tempat di depan. Walau harus di pojok belakang pun akan tetap menyenangkan. Ternyata tempatnya masih cukup longgar saat aku tiba, dan sangat menyenangkan bisa hadir di bagian depan. Ini anugrah yang semakin tak terduga.

Di sana sudah ada bapak-bapak dan mas-mas generasi 2000-an, ada sekelompok remaja, juga ibu-ibu yang mengajak putrinya. Aku tidak yakin kalau anaknya cukup tahu Padi, tapi ibunya pasti begitu menyukainya. Padi adalah musik dari “dunia” sang ibu itu. Mengajak anaknya ke sana, seakan memberi tahu kalau di era 2000-an, ada bintang yang bersinar untuk menghibur yang lelah jiwanya. Bintang itu masih bersinar sampai saat ini.

Bagai bintang yang bersinar, menghibur yang lelah jiwanya

Bagai bintang yang berpijar, menghibur yang sedih hatinya

Terima kasih banyak untuk kabupaten Tegal, sudah mengundang Padi Reborn untuk Pesta Rakyat



Komentar