Sang Penghibur
Terimakasih malam ini Sobat @padireborn
— Arwani Muhammad (@arblam) May 27, 2023
Tak ada satu pun yang mampu menjadi sepertimu. pic.twitter.com/83cIdqOHHp
Tak lagu kudengar dengan sungguh
Juga tutur kata yang mencela
Tak lagi ku cerna dalam jiwa
Aku bukanlah seorang yang mengerti tentang kelihaian
membaca hati
Ku hanya pemimpi kecil yang berangan, tuk merubah
nasibnya
Tabuhan drum dari Yoyo mengawali lagu itu. Setelah lama berdiri
untuk menunggu penampilannya, akhirnya “Sang Penghibur” itu datang. Sudah ku
prediksi kalau lagu itulah yang akan menjadi song-list pertama. Aku tak
bisa menahan diri untuk ikut bernyanyi dan melambaikan tangan. Band ini bukan
hanya idola, tapi juga pengisi jiwaku.
Oh, bukankah ku pernah melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya, yang sedih hatinya
Ku hayati lirik itu ketika aku bingung dan lelah. Sering berharap
dalam hati, “kapan bisa melihat langsung mereka bernyanyi?” sempat aku merasa
tidak bakal memiliki kesempatan untuk ini. Mungkin nanti mereka sudah sama tua
dan tidak banyak konser. Tapi takdir berkata lain. Mereka hadir di tempat yang
aku tak pernah menduganya. Langsung kubatalkan hal-hal lain, aku hanya ingin
menonton konser itu. Ponselku kuatur dalam modus terbang sejak magrib. Ini
waktu sakral untuk menyaksikan Padi.
Allhamdulillah. Aku sering berharap sendiri, semoga suatu
saat bisa menonton Padi. Rasanya ini adalah anugerah. Hal yang tampaknya sulit
kulakukan, ternyata datang dengan tak terduga. Begitu indah ketika sebuah
harapan bertemu dengan kenyataan. Keindahan ini mengingatkanku untuk tidak
berhenti berharap.
Harapan tidak selalu bisa menjadi nyata. Tapi saat
memilikinya, kita jadi tahu apa yang benar-benar kita inginkan. Tidak hanya
ikut dalam keramaian. Hal ini penting mengingat budaya populer lebih banyak
mengajak untuk ikut dalam keramaian, dan terkadang kita tidak benar-benar
menyukainya. Selagi bisa, berharaplah apa yang kamu ingin. Biar waktu dan
langkah hidup yang akan menjawabnya.
Kugerakkan langkah kaki di mana cinta akan bertumbuh
Kulayangkan jauh mata memandang tuk melanjutkan mimpi
yang terputus
Masih kucoba mengejar rinduku, meski peluh membasahi
tanah
Lelah penat yang menghalangiku, menemukan bahagia
Mengidolakan Padi tidak hanya soal musiknya, tapi juga kisah
kebersamaan mereka. Band kampus Universitas Airlangga itu tidak pernah berganti
personil, bahkan hingga dua dasawarsa. Memang mereka pernah vakum selama 6
tahun. Kabarnya ada konflik internal. Piyu membuat Album Solo, sedang Rindra,
Yoyo, Fadli dan Ari membentuk MUSIKIMIA bersama Stefan Santoso. Namun pada
akhirnya mereka kembali bersama. Lengkap seperti semula. Seperti lagu mereka
untuk serial Upin-Ipin, Sahabat Untuk Selamanya. Padi adalah
mereka berlima, dan akan tetap begitu. Tak ada satu pun yang mampu menjadi
seperti Padi, musiknya, juga orang-orangnya. Kuwalitas itu teruji oleh
waktu.
Oh, bukankah hidup adalah perhentian
Tak harus kencang terus berlari
Kuhelakan nafas panjang, tuk siap berlari kembali
Melangkahkan kaki, menuju cahaya
Aku berangkat langsung sehabis magrib. Tidak berharap
mendapat tempat di depan. Walau harus di pojok belakang pun akan tetap
menyenangkan. Ternyata tempatnya masih cukup longgar saat aku tiba, dan sangat
menyenangkan bisa hadir di bagian depan. Ini anugrah yang semakin tak terduga.
Di sana sudah ada bapak-bapak dan mas-mas generasi 2000-an,
ada sekelompok remaja, juga ibu-ibu yang mengajak putrinya. Aku tidak yakin
kalau anaknya cukup tahu Padi, tapi ibunya pasti begitu menyukainya. Padi
adalah musik dari “dunia” sang ibu itu. Mengajak anaknya ke sana, seakan
memberi tahu kalau di era 2000-an, ada bintang yang bersinar untuk menghibur
yang lelah jiwanya. Bintang itu masih bersinar sampai saat ini.
Bagai bintang yang bersinar, menghibur yang lelah jiwanya
Bagai bintang yang berpijar, menghibur yang sedih hatinya
Terima kasih banyak untuk kabupaten Tegal, sudah mengundang
Padi Reborn untuk Pesta Rakyat
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya