Ketidak Pekaan Dalam Diriku

Gempa
"Mas ada gempa mas"

Saat aku tengah sholat di lantai 2, ada kepanikan. Katanya gempa. Suara bergemuruh di mana-mana. Entah kenapa aku tidak merasakannya. Sedikit pun tidak. Kelanjutan saja shalat isya. Bukan soal berusaha khusu', tapi sebab aku tak merasakan adanya gempa. Sempat terpikir untuk ikut panik dengan suasana, tapi mengikuti hal yang tak kita sadari tampaknya lebih bodoh.

Aku tak tahu seberapa hebat gempa itu tadi. Entah di mana pusatnya, semoga tidak menjadi musibah yang terlalu. Yang ku herankan adalah, kenapa orang yang santai dipojokkan, sambil main ponsel, bisa langsung peka dengan adanya gempa? Sedangkan aku tidak? Padahal di sini goncangan tidak sebesar di Jogja. Sebagaimana yang di katakan kawan dalam status WA-nya.

Dalam kasusku, tampaknya ini masalah kepekaan. Semakin lemah kepekaan seseorang, itu adalah tanda ia semakin lemah. Bisa juga semakin bodoh. Bahkan dalam goncangan fisik saja aku tak dapat menyadari, apalagi dengan goncangan hati, atau bahkan goncangan suasana yang saat ini kuat tak karuan.

Kepekaan ini masalah serius. Aku begitu membutuhkannya. Tanpa itu tak ada hal yang layak untuk diceritakan. Tapi menyadari akan lemahnya hal itu pada diriku, membuatku ingin mengeluh. Meratap, 'bagaimana bisa aku tidak memilikinya?'. Dunia bisa begitu rapuh jika tak ada rasa kepekaan di dalamnya. 

Kepekaan, atau bahasa lainnya adalah sensitivitas, adalah bekal pribadi untuk bisa berempati. Untuk bisa peduli dengan apa yang terjadi, yang dirasakan oleh orang lain, terutama yang sedang terproses dalam diri. Sensitivitas itu seperti sensor hati dengan hati yang lain. Juga dengan udara yang menggelombang.

Entah bagaimana cara menyalakan sensitivitas itu, agar bisa memancar, mampu menangkap gelombang yang ada. Mungkin harus lebih banyak belajar, banyak berbuat, bahkan banyak beribadah.

Semoga kepekaan itu hadir selalu, tidak hanya dalam bentuk rasa, tapi juga dalam intuisi.

Komentar