Sepenggal Cerita Di Kereta Malam Menuju Surabaya
Entah pulang atau berkunjung
Untuk alasan yang kuat, malam ini kuputuskan untuk menyusul ibu ke bandara dan kemudian ke rumah. Aku izin kepada sebagian kecil orang, dan jelas aku izin kepada orang utamaku. Tidak hanya di izinkan, aku bahkan dibelikan tiket, rokok yang juga berisi uang saku, dan diantarkan ke setasiun. Bahkan sempat ada yang membuat video perjalanan sampai di stasiun. Tepat jam setengah satu, aku masuk ke dalam stasiun dan bersiap dengan keberangkatan kereta. Tiket bisnis yang kukira berisi tempat duduk single yang nyaman, ternyata bersisi tempat duduk lebar yang...
Rasanya memang lebih nyaman
dari tiket ekonomi sih. ‘Tahu begini seharusnya aku tadi minta pesan yang
eksekutif saja’, begitu ungkapan batinku saat masuk di gerbong kereta.
Untuk menemukan gerbong dan
mencari nomor kursi yang tertera dalam tiket, itu bukan hal yang mudah. Namun
ternyata, begitu nomor kursi sudah kutemukan, tampak ibu-ibu paruh baya yang
sedang tidur di sana. Aku mulai bertanya, apakah ibu ini memiliki nomor tempat
duduk di sampingku? Sepertinya tidak. Aku mondar-mandir dua kali sambil melihat
ke tempat duduk itu. Kuperhatikan juga sebagian tempa duduk juga terisi dengan
satu orang. Mereka tengah tidur, atau setidaknya hanya memejamkan mata,
berusaha untuk melewatkan perjalanan dengan tidur.
Saat melihat ibu itu tidur di kursiku,
timbul juga pikiran liarku. ‘kenapa yang duduk ibu-ibu sih, kalau saja yang
tidur itu mbak-mbak cantik, pasti akan kupaksa duduk di situ. Dan kalau dia masih
saja mau tidur, kupersilahkan saja tidur di pangkuanku’, begitulah kira-kira
bunyinya.
Sempat terpikir menghubungi petugas kereta untuk ‘menertibkan ibu itu’, agar dia kembali ke nomor tempat duduk yang disediakan untuknya. Tapi aku lebih tidak kuasa melakukannya. Rasanya memang lebih baik sedikit menderita, ketimbang harus mempermalukan orang tua.
Pada akhirnya aku hanya
meletakkan tasku di atas nomor tempat dudukku itu. Dan rupanya hal itu
membuatnya tersadar, sambil rebahan dia bertanya kepadaku, “ini nomor tempat
duduknya ya mas?”. kujawab, “Iya bu. Saya cuma menaruh tas saja di sini”. Bukankah
ini bodoh sekali. Kenapa aku tidak bilang iya dan berdiri saja di situ,
sambil menyindir ibu itu untuk pergi. Malah bilang hanya mau meletakkan
tas. Tapi toh ibu juga tidak bertanya dengan perasaan sungkan. Di satu sisi
dia juga kurang rela jika harus membagi bangku itu denganku. Ya sudahlah, aku
berjalan saja ke gerbong belakang. Mencari tempat duduk yang bisa di isi. Yang
tidak dipakai rebahan maksudnya.
Aku duduk di kursi bagian
belakang gerbong. Walau di sana ada orang yang tengah tidur, tapi dia tidak
rebahan. Kukira aku tak akan mengganggunya ketika duduk di sampingnya. Lalu ada
yang bertanya kepadaku. Mengenai berapa nomor kursiku. Orang itu duduk di kursi
sebelah yang aku duduki. Kujawab bahwa aku duduk di kursi nomor 5D, tapi tempat
itu sedang dibuat tidur oleh ibu-ibu. Dia pun bisa mengerti.
Tidak begitu lama aku duduk di
sana, anak yang bertanya kepadaku tadi pergi. Tampak tempat duduknya kosong.
Aku pun memutuskan pindah ke tempatnya. Kupikir dia tidak akan kembali ke
tempat itu. Aku duduk di sisi luar kursinya dan membuka ponsel untuk membalas
WA dan juga membaca artikel. Agak lama aku menoleh, ternyata anak tadi duduk di
tepatku sebelumnya, tempat yang kududuki bersama bapak-bapak yang sedang tidur.
Aku pun beranjak untuk pergi dan mempersilahkan dia duduk, namun dia menahanku.
“tidak apa-apa mas, di situ saja” begitu ungkapnya. Aku bertahan dan meneruskan
membaca.
Semakin lama, rasa nyamanku
menjadi hambar. Berubah menjadi perasaan tidak enak. Saat kulirik anak itu, dia
tampak menyandarkan kepala pada kedua tangannya. Tampak mengantuk dan butuh
tempat yang nyaman untuk tidur. Aku pun beranjak pergi. Berharap menemukan
tempat lain yang kosong. Kulewati nomor kursiku yang masih dipakai tidur ibu
itu. Menuju ke bagian depan gerbong. Jikalau nanti tak kutemukan tempat duduk
kosong, aku akan nongkrong saja di bordes. Begitu pikirku. Ternyata di
bagian depan ada dua kursi kosong. Dua kursi yang berhadapan, yang bahkan tidak
ada orangnya sama sekali. Seperti dapat ‘rejeki anak sholeh’.
Aku duduk di sana dan melanjutkan
main ponsel, membalas pesan, dan juga melamun alias bengong. Semakin lama
begitu, rasanya malah ingin melakukan sesuatu. Kuambil saja tasku, dan kuajak
duduk di sampingku. Kuambil charger agar baterai terisi saat keluar kereta
nanti. Lalu kuambil laptop untuk mengedit naskah kemarin. Untuk mengatasi
kebengongan berikutnya, kutulis saja cerita ini.
Oh iya. Saat sedang
mengedit naskah, saat itu kereta juga sedang berhenti di Semarang, aku melihat
ibu yang tidur di kursiku tadi beranjak ke toilet. Sebelum ke toilet, kulihat
dia membangunkan anaknya yang sedang tidur rebahan tepat di sebelah kursi yang
kududuki. Aku pun menyimpulkan, “oh, sebenarnya ibu itu pergi dengan anak itu,
dan pastinya mereka berdua sebangku di sana, bukan di tempatku”.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya