Jauh

Setelah tuju hari kematian Ibuku, perasanku kembali bergolak. Bukan terjadi secara langsung, tapi berujung bangkit seperti budaya laten. Ada sesuatu yang tak tampak dan bisa muncul secara tiba-tiba. Semua ini karena cerita yang panjang, penuh drama dan rumit.

Sebelum aku bercerita mengenai semua itu, lebih baik kuceritakan dahulu perasaanku selama sebulan di rumah.

Dalam seminggu, perasaan asing ku selama di rumah sudah mereda. Berganti menjadi perasaan nyaman dan mengikat. Kesan bahwa inilah desaku, tempatku dilahirkan dan awal mengenal dunia. Ya, begitulah rasanya. Ada banyak hal yang berubah, tapi rasa saling mengenal satu sama lain, suara-suara yang akrab sedari kecil, dan kombinasi antara ramai dan sepi yang bisa kembali ku nikmati. Sehabis magrib yang sepi dan juga suasana hajatan yang penuh kericuhan, termasuk banyak anak-anak yang bermain, berseliweran tanpa beban.

Dalam hati aku merasa ingin menetap. Ingin melanjutkan kehidupanku di lingkungan ini. Namun aku sendiri tahu, bahwa satu keputusan tidak boleh hanya bersandar pada satu perasaan. Mungkin juga rasa ingin ku kurang kuat, sehingga harus berpikir seribu kali lagi untuk memutuskan yang sebaiknya. Masa muda yang sudah berjalan cukup lama. Sudah tidak lagi soal mengambil keputusan dan menanggung konsekuensinya, tapi ada beban-beban lain yang harus diselesaikan, walau kita tidak memikirkannya sejak awal, meski bukan kita juga yang memulai.

Perasaan kagum akan rumah ini menjadi begitu kuat ketika Ibu meninggal. Bukan soal kesedihan, tapi soal banyaknya orang yang hadir dan ikut berpartisipasi dengan keadaan, bahkan hingga akhir hari ke-7. Tentu saja ini bukan hanya tentang kewajiban karena perintah agama, untuk mengurus jenazah, menyalati, hingga menguburkan, tapi lebih karena kebiasaan sosial yang terus dilestarikan. Bahkan mereka yang dengan biasanya melakukannya, sampai tidak lagi merasa bahwa dirinya sedang berbuat baik. Dan setelah acara tuju hari selesai,  saat orang-orang sudah tidak lagi berkumpul di rumah, saat itulah “kedinginan” mulai terasa.

Ada hal-hal yang masih sulit diterima, dan terasa tak bisa diikhlaskan. Terutama tentang kekecewaan. Sebab sebelum ini aku merasa sudah mengecewakan seseorang. Namun aku menjadi tahu kalau sebenarnya, mereka juga membuatku kecewa. Apa yang dikatakannya padaku, ternyata tak sebaik yang sudah dilakukannya. Semua itu membuatku menyimpulkan mengenai jalan karma. Sesuatu yang tak bisa dihindari jika sudah memulai sebabnya. Karena setiap sebab akan menemui akibatnya. Entah apakah rumus ini tepat atau tidak, tapi aku merasa hal itulah yang terjadi.

Dalam malam yang sepi, aku mendengarkan lagu Coklat yang dinyanyikan secara akustik oleh Astrid. Sumpah, lagu ini terasa banget untuk saat ini.

Mungkin lain kali saja ceritanya yaa. hehe



Komentar