Keponakanku Mendapatkan Piala

Pagi tadi aku bangun siang, tepat setelah keponakanku pulang dari sekolah. Bukan sekolah SD, tapi masih di Taman Kanak-Kanak. Dia bilang kepadaku “Om, Aku dapat piala !”.

Aku pun langsung menyambut bangga dengan apa yang dia dapatkan, walaupun sebenarnya itu hanya sandiwara. Sebab aku tahu, kalau piala itu sebenarnya dibeli oleh ibunya. Dalam rangka hadiah, apresiasi karena dia tidak rewel dalam banyak acara Agustusan. Bukan berarti dia tidak rewel sama sekali, melainkan lebih bisa dibujuk dan ditenangkan dengan dijanjikan akan mendapat sesuatu. Kenyataan itu membuatku membatin dalam hati, apakah begini rasanya punya anak? Harus diikuti semua kemauannya. Bahkan nyaris tidak pernah di bentak. Selalu di timang dan di puji agar hatinya luluh, dan itu kadang membuatku jengkel sendiri. Sebab dirinya menjadi seenaknya sendiri dan kadang kurang ajar.

Sekali aku membentaknya, tapi malah menjadi masalah. Sebab dia menjadi murung dan tambah semakin menyedihkan. Hal itu membuatku menyesal telah membentaknya, walau kurasa dia butuh sesekali dibegitukan. Menurutku dia hanya mendapatkan piala, bukan meraihnya.

Maklum saja, dia memang layak dikasihani sejak dalam kandungan. Bapaknya meninggal saat dia berusia enam bulan dalam perut ibunya. Aku sendiri tidak tahu, model pendidikan seperti apa yang harus diterapkan padanya. Sampai saat ini aku masih melihat kalau dia yang tidak pernah dibentak itu, dan selalu dituruti kemauannya, sangat tidak sehat untuk jiwanya. Apalagi sampai dia mendapatkan piala, hanya karena tidak begitu rewel saat diajak ikut acara Agustusan. Entah bagaimana nanti masa depannya?

Tapi aku sendiri percaya bahwa hidup tiap manusia adalah rahasia Tuhan. Dia pun tahu apa yang tidak aku tahu. Pada kenyataannya, begitu banyak hal yang tidak aku tahu. Memang sebaiknya aku berharap bahwa dia selalu mendapatkan yang terbaik dari yang maha kuasa.

Mungkin aku sendiri yang iri padanya. Sebab aku tak mendapatkan kasih sayang sebagaimana dia hari ini. Tidak diapresiasi dan memang tidak memiliki prestasi. Mungkin ini bukan karena dia yang dibesarkan dengan cara apa, tapi aku masih melihatnya dari perspektif diriku dahulu dibesarkan. Padahal, caraku dibesarkan juga tidak sepenuhnya benar. Terlalu banyak hal di masa lalu yang membutaku sakit hati dan membenci perjalanan masa lalu. Sangat berbeda dengan kondisi keponakanku hari ini, yang karena tidak rewel saja dianggap pantas mendapatkan piala.

Enak sekali ya anak ini, begitu saja mendapatkan piala.

Namun saat aku bertanya kepada diriku, apakah aku mau menukar jiwaku dengan keponakanku itu? Aku akan menjawab tidak. Sebab aku juga bisa mengerti rasa tidak enaknya menjadi dia.

Mungkin aku hanya kurang tenang melihat jiwaku. Masih iri dan membandingkan hidupku dengan anak sekecil itu. Bukan karena dia lebih enak hidupnya dan aku tidak, atau sebaliknya. Aku hanya tidak bisa menenangkan diri dengan apa yang kualami. Seharusnya aku lebih banyak mengevaluasi diri dari pada orang lain, apa lagi dengan anak sekecil itu.


Komentar