Keponakanku Mendapatkan Piala
Aku pun langsung menyambut bangga dengan apa yang dia
dapatkan, walaupun sebenarnya itu hanya sandiwara. Sebab aku tahu, kalau piala
itu sebenarnya dibeli oleh ibunya. Dalam rangka hadiah, apresiasi karena dia
tidak rewel dalam banyak acara Agustusan. Bukan berarti dia tidak rewel sama
sekali, melainkan lebih bisa dibujuk dan ditenangkan dengan dijanjikan akan
mendapat sesuatu. Kenyataan itu membuatku membatin dalam hati, apakah begini
rasanya punya anak? Harus diikuti semua kemauannya. Bahkan nyaris tidak pernah
di bentak. Selalu di timang dan di puji agar hatinya luluh, dan itu kadang membuatku
jengkel sendiri. Sebab dirinya menjadi seenaknya sendiri dan kadang kurang
ajar.
Sekali aku membentaknya, tapi malah menjadi masalah. Sebab
dia menjadi murung dan tambah semakin menyedihkan. Hal itu membuatku menyesal
telah membentaknya, walau kurasa dia butuh sesekali dibegitukan. Menurutku dia
hanya mendapatkan piala, bukan meraihnya.
Maklum saja, dia memang layak dikasihani sejak dalam
kandungan. Bapaknya meninggal saat dia berusia enam bulan dalam perut ibunya.
Aku sendiri tidak tahu, model pendidikan seperti apa yang harus diterapkan
padanya. Sampai saat ini aku masih melihat kalau dia yang tidak pernah dibentak
itu, dan selalu dituruti kemauannya, sangat tidak sehat untuk jiwanya. Apalagi
sampai dia mendapatkan piala, hanya karena tidak begitu rewel saat
diajak ikut acara Agustusan. Entah bagaimana nanti masa depannya?
Tapi aku sendiri percaya bahwa hidup tiap manusia adalah
rahasia Tuhan. Dia pun tahu apa yang tidak aku tahu. Pada kenyataannya, begitu
banyak hal yang tidak aku tahu. Memang sebaiknya aku berharap bahwa dia selalu
mendapatkan yang terbaik dari yang maha kuasa.
Mungkin aku sendiri yang iri padanya. Sebab aku tak mendapatkan
kasih sayang sebagaimana dia hari ini. Tidak diapresiasi dan memang tidak
memiliki prestasi. Mungkin ini bukan karena dia yang dibesarkan dengan cara
apa, tapi aku masih melihatnya dari perspektif diriku dahulu dibesarkan.
Padahal, caraku dibesarkan juga tidak sepenuhnya benar. Terlalu banyak hal di
masa lalu yang membutaku sakit hati dan membenci perjalanan masa lalu. Sangat
berbeda dengan kondisi keponakanku hari ini, yang karena tidak rewel saja
dianggap pantas mendapatkan piala.
Enak sekali ya anak ini, begitu saja mendapatkan piala.
Namun saat aku bertanya kepada diriku, apakah aku mau
menukar jiwaku dengan keponakanku itu? Aku akan menjawab tidak. Sebab aku juga
bisa mengerti rasa tidak enaknya menjadi dia.
Mungkin aku hanya kurang tenang melihat jiwaku. Masih iri
dan membandingkan hidupku dengan anak sekecil itu. Bukan karena dia lebih enak
hidupnya dan aku tidak, atau sebaliknya. Aku hanya tidak bisa menenangkan diri
dengan apa yang kualami. Seharusnya aku lebih banyak mengevaluasi diri dari
pada orang lain, apa lagi dengan anak sekecil itu.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya