Refleksi Sehari-Hari dalam “HIDUP BUKAN HANYA URUSAN PERUT”
Pujangga jawa pernah mengatakan. “Eng jaman edan, seng ora edan ora keduman. Nanging sak beja-bejane wong kang edan, isih luwih beja wong kang eling lan waspodo”. Bila saya menerjemahkannya sendiri menjadi begini. “Di zaman kegilaan, orang yang tidak ikutan gila tidak akan mendapatkan tempat. Namun seberuntung-beruntungnya orang yang gila, akan masih beruntung orang yang ingat dan waspada”.
Ketika saya pikir-pikir lagi, ternyata kalimat ini mewakili
banyak dimensi. Tidak hanya tertuju pada satu posisi dan golongan tertentu.
Kalimat ini bisa dijadikan rujukan siapa saja untuk meneliti hidupnya. Sebab
setiap orang dalam setiap fase dan posisi memiliki jenis kegilaannya
masing-masing. Kegilaan itu kadang mau tidak mau harus dilakukan, entah itu
sebagai adaptasi, atau sebagai cara bertahan. Namun sang pujangga mengingatkan
pada akhirnya, walaupun orang yang “gila” itu beruntung, tetapi akan lebih
beruntung orang yang ingat dan waspada, Eling lan waspodo.
Dalam bahasa kita, eling lan waspodo itu bisa
diartikan dengan berkesadaran. Kesadaran akan adanya kesalahan di lingkungan
kita, yang kadang membuat juga kita ikut larut dalam kesalahan tersebut.
Sebagai contoh, saat kita hadir dalam tempat yang orang berebut makan, kita
tidak akan mendapat makanan jika tidak ikut berebut. Atau dalam dunia
perdagangan di Desa yang sebagian besar memakai model penglaris di
tokonya, kita yang tidak menggunakan penglaris akan terkucil dan tidak
ikut menonjol. Sang pujangga cukup bisa mengerti dengan keadaan tersebut, dan
itu membuat beliau mengingatkan untuk tetap berkesadaran. Dengan adanya
kesadaran, bahwa yang kita lakukan salah dan menyerempet bahaya, maka akan
lebih mudah untuk bisa kembali ke jalan yang benar.
Kesadaran itu dibuktikan oleh Prie GS dalam tulisannya di
buku ini. Esai-esainya ringan tapi mampu memberikan kesadaran dari apa yang
sebelumnya mungkin tak bisa kita sadari. Saat dia menilai situasi dalam
rumahnya, dia juga menilai situasi dalam batinnya sendiri. Saat dia menilai
situasi dalam komplek lingkungannya, dia juga menilai struktur yang tidak adil
dalam negeri. Saat dia begitu menikmati makanan yang dibuat oleh seorang
pedagang, dia bisa membawanya dalam sebuah konsep melempar sesuatu yang baik
dan bermutu, yang kemudian akan kembali pada kita dengan lebih baik.
Buku ini adalah sekumpulan tulisan mengenai refleksi
keseharian. Mulai dari kebersamaan dengan keluarga, komplek sekitar rumah,
keadaan di jalanan dan di kantor, sampai pada peristiwa atau fenomena yang
sedang ramai diperbincangkan di tataran nasional. Opininya dan kesimpulannya
melekat pada banyak hal, mulai keadaan politik, sosial, pendidikan, bisnis, dan
juga nasehat atau cara mengingatkan diri sendiri. Ditulis dengan bahasa yang
ringan dan jelas, buku bisa memberitahukan kesalahan yang mungkin kita lakukan
tanpa membuat tersinggung. Bahasanya berisi pertanyaan dan juga perumpamaan,
menjadikan kritik dan evaluasi itu tidak terkesan menghakimi.
Buku ini baik untuk dibaca siapa saja, sebagai bahan
renungan dan juga refleksi bersama. Mungkin dinikmati sambil meminum kopi di
depan rumah, atau menjadi teman merenung sebelum tidur. Membacanya kadang bisa
membuat geli hati dan pikiran. Sebab menyadarkan kita, bahwa dibalik
kita yang merasa tampak baik saat melakukan sukses menjalankan sesuatu,
ternyata ada pihak yang sudah mengupayakan lebih baik agar hal itu terjadi.
Seperti ketika dia telah merasa sukses menidurkan anaknya, dan kemudian
menyadari kalau istrinya jauh lebih sukses karena sudah melakukannya setiap
hari tanpanya.
Pelajaran yang bisa diambil dalam keseluruhan buku ini
adalah, bahkan kewaspadaan itu penting, baik saat kita merasa benar atau saat
ikut dalam sesuatu yang salah. Dengan kewaspadaan, kita akan tetap menjadi
pribadi yang utuh sambil ikut mengalir menyusuri alur hidup.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya