MULAI UNTUK AMBISI

Banyak hal yang masih tertunda untuk dilakukan. Bahkan sore ini sudah ada janji untuk zoom meeting bersama seorang teman di jogja, tapi tak jadi berjalan. Banyaknya hal yang urung terlaksana, membuatku merasa tidak melangkah ke mana-mana. Masih berkutat pada diri sendiri. Masih sering menjadikan banyak alasan untuk menunda. Banar kata mark manson, ...sebenarnya bukan karena Anda tidak punya waktu, melainkan Anda tak punya fokus dengan itu.

Malam ini aku membaca kembali buku Yasraf Amir Piliang. Hal baru yang kudapatkan adalah, pandangan mengenai Geo-politik dalam cengkeraman dominasi ideologi dunia. Mulai dari masalah Orientalisme, Pluralisme, dan juga dominasi wacana yang dilakukan oleh orang barat(Eropa dan Amerika) terhadap dilayah di luar mereka. Juga tentang perbedaan etnisitas dan rasisme, yang keduanya memiliki unsur yang serupa, namun berada dalam kemasan yang berbeda. Bacaan itu membuatku memikirkan hal baru mengenai NU, tentang bagaimana mendefinisikan Ormas Islam terbesar ini dalam pandangan Geopolitik dan “dunia baru”. Bahwa pasca abad dominasi wacana yang dimotori oleh beberapa negara super power, NU sebagai organisasi masyarakat yang berada di wilayah negara dunia ketika, negara yang merupakan bekas jajahan, yang terlalu banyak menjadi objek kajian dari para orientalis, apakah dia akan berupaya menjadi dominasi dunia baru, atau dia bergerak dalam pandangan dunia saat ini?

Atau akan menjadi wacana tandingan terhadap dominasi yang kini melanda dunia. Tentang liberalisme, demokrasi, dan kapitalisme.

Ah tapi itu semua terlalu ngawang-ngawang untuk dibahas.

Sebenarnya aku hanya ingin fokus membaca dan membahas sesuatu malam ini. Bahkan ponsel kuatur dalam mode terbang. Kulempar di kasur, dan aku duduk di atas kasur, dengan kaki si lantai, dan membaca buku. Mungkin sesekali merokok dan melamun, tapi kemudian membaca lagi. Sekarang aku malah menulis, sebab aku terdorong untuk melakukannya, sebab lelah membaca dan juga dari pada aku mengaktifkan ponselku kembali. Tapi dalam tulisanku ini, aku lebih banyak ngaco dari pada berpikir. Jika berpikir saja tidak benar, pastilah kacau jika menulis.

Kemarin aku juga ingin menulis novel, dalam rangka mengikuti syaembara novel di sebuah penerbit di Jogja. Tapi aku masih belum begitu kuat dalam merencanakan scrip-nya. Aku masih belum menulis satu bab pun. Hanya menulis garis besar dari tiap-tiap bab, itu pun baru sampai bab lima. Satu hal yang kini bisa kusadari dalam diriku, aku sama sekali tidak memiliki sikap ambisius. Tak ada satu hal pun yang benar-benar ingin kuraih, dan kuupayakan sekuat tenaga. Mungkin itu juga yang kemarin dikatakan seseorang kepada diriku.

Padahal aku sudah tahu, kalau ambisi itu diperlukan. Bukan ambisi tepatnya, tapi himmah, sebuah keinginan yang kuat. Orang hidup harus memiliki himmah, sebab ia adalah sepertiga dari takdir. Kuatkanlah himmah-mu untuk mencapai takdirmu. Bila kau tak mau ber-himmah, maka jangan menyesal kalau takdirmu ditentukan orang lain.

Aku sebenarnya bingung, apakah aku akan terus menulis begini, atau kulanjutkan saja membaca, entah apakah bacaan itu akan ada progres atau tidak. Tapi semakin aku berusaha menulis, tampaknya semakin banyak hal yang ngacau, ketimbang hal yang dipikirkan secara sistematis. Yang bisa kusimpulkan saat ini ialah, tak ada salahnya memiliki ambisi, tak ada salahnya memiliki keinginan yang kuat dan diupayakan sekuat tenaga. Sebab memang ada yang harus diperjuangkan dalam hidup.

Komentar