Ternyata Aku Tak Sebaik Yang Kupikirkan

Pagi tadi aku kembali mengajak teman untuk sarapan. Teman yang sama, dan juga di warung soto yang sama pula. Perasaan lapar itu satu hal, yang lainnya adalah, aku belum makan dari kemarin siang. Rasanya ingin makan yang berselera dan juga banyak. Dua porsi mungkin.

Kebetulan orang yang ku ajak juga tidak repot, dan kami langsung berangkat. Sebelum ke tujuan, kami mampir dulu ke toko untuk membeli rokok, sebab kami berdua kehabisan bara api nikmat itu. Bara api yang seakan sudah menjadi kebutuhan primer. Bahkan kadang lebih primer dari makan itu sendiri.
Sampai di warung, kamu memesan dua mangkuk soto, tapi aku sudah berniat untuk memesan mamgkuk ke-dua ku nantinya.

Mangkok pertama sudah cukup membuatku kenyang, tapi pikiran untuk memesan porsi kedua tak bisa dihindari. Akhirnya aku memesan mangkok porsi keduaku. Sementara teman tadi sudah menikmati rokoknya, aku masih bergulat dengan mangkok keduaku. Setelah porsi keduaku selesai, barulah aku merokok dan kita mengobrol.

Tak lupa aku mencicil hutangku padanya. Hutang yang cukup banyak, yang aku bayar dulu dengan beberapa ratus ribu. Dia terkesan tidak menuntut, bahkan menyuruhku untuk menggunakannya lebih dulu jika masih membutuhkan. Namun aku memang untuk berniat sejak awal, menempatkan beberapa ratus ribuku itu untuk membayar utang.

Di tengah kita ngobrol, ternyata ada lagi peminta-minta yang datang. Awalnya aku tidak ngeh, tapi semakin lama ia diam di pintu aku menjadi tahu.

Awalnya aku tak tergerak untuk memberi, tapi semakin lama kurasa aku harus memberinya. Kuambil uang, tapi kemudian penjaga warung lewat dan memberikan uang padanya. Melihat itu, aku kembali meletakkan uangku di tas. Dalam benakku mengatakan kalau sudah ada orang lain, aku tak harus melakukannya.

Entah pikiran itu benar atau salah, tapi tampak sekali, bahwa sejak awal aku tak ingin memberi. Kemudian menjadi terasa, kalau kemarin aku mungkin juga begitu. Memberi hanya agar tampak ada yang memberi, bukan memberi sebagai sikap pribadi.

Mengingat kejadian itu, aku menjadi malu akan diriku sendiri. Merasa diri baik setelah memberi, padahal pribadiku jauh dari sikap memberi. Aku terbuai dengan ilusi 'orang baik' yang sebenarnya tak kumiliki.

Yang benar-benar baik adalah mereka yang memiliki mental memberi, terlepas itu dianggap baik atau tidak, sepi atau ramai, berharga atau remeh. Mereka yang memberi bukan karena situasi dan kondisi, tapi karena begitulah sikap hidupnya. Sedangkan aku jauh sekali dari pribadi seperti itu.

Yang bener dari cerita kemarin adalah, sebenarnya pribadiku juga peminta-minta, bahkan terkadang malah pencuri.

Astaghfirullah hal adzim.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"