Presiden Intelektual
Pemilihan presiden tahun ini berbeda dengan tahun 2014 lalu,
saat aku pertama kali mendapatkan hak pilih. Saat itu kepercayaan kepada SBY
tidak cukup baik, ada banyak kasus yang menyeret keluarga Cikeas. Dampaknya adalah,
partai oposisi yakni PDIP naik pamor dan memenangkan sosok calon presiden. Aku juga
memilih presiden dari PDIP waktu itu. Sebab aku melihatnya sebagai sosok sipil,
menurutku waktu itu, dan juga ada banyak pendapat yang kuikuti di sana, negeri
ini lebih butuh pemimpin dengan latar belakang sipil dari pada militer.
Namun kemudian aku melihat fakta lain, tidak peduli latar
belakang sipil atau militer, politik selalu memiliki unsur kompromi dan
manipulasi. Kekecewaan pertama adalah soal tiadanya bagi-bagi jabatan, yang
mungkin di awal-awal coba untuk diwujudkan dengan berbagai pencitraannya. Namun
pada akhirnya pembagian jabatan dengan partai koalisi itu tidak bisa dihindari.
Mereka lebih memilih untuk bicara “moral” tidak bagi-bagi jabatan, ketimbang
menganggap itu adalah keniscayaan.
Atau memang, sebaiknya janji kampanye itu tak seharusnya
dipercaya. Semua calon memiliki janji kampanye, namun jangan pedulikan itu,
pilihlah salah satu yang memungkinkan jauhnya kerusakan untuk negeri, ketimbang
percaya dengan janji kampanye yang dibuatnya. Akui saja kalau siapa pun
presidennya nanti, pastinya akan memberikan unsur pembangunan, unsur perbaikan,
dan kadang juga ada kerusakan.
Dalam fase ini, aku lebih percaya pada cara pandang
intelektual. Sebab ide dan imajinasi akan adanya negeri ini dibangun oleh tokoh-tokoh
intelektual, yang kemudian berpolitik untuk membantu sesama bangsanya. Sebut saja
HOS Cokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, dan juga Tan Malaka. Sosok militer
baru ada setelah jaman jepang, dan mulai membesar saat momentum mempertahankan
kemerdekaan. Bangsa ini butuh militer yang hebat, juga butuh banyak
interpreneur, tapi arah laju negara adalah produk dari intelektual.
Setelah Ir. Soekarno, intelektual pemimpin negeri ini adalah Abdurrahman Wahid. Dia menata negeri menuju demokrasi dan pluralisme. Sebuah cara pandang dunia yang terbaik saat ini. Namun dia bukan tokoh yang mudah berkompromi, dan itu membuatnya dijegal banyak pihak, hingga dilengserkan.
Mungkin memang butuh kompromi untuk mempertahankan sesuatu. Mungkin
butuh sedikit mengalah pada kepentingan tertentu agar tetap aman, juga dengan
tujuan mempertahankan manfaat untuk banyak pihak. Namun, kompromi seorang
intelektual lebih layak diikuti dibandingkan dengan petugas partai.
Di pemilu tahun ini, rasanya seperti dihadapkan pada tiga
pilihan yang memiliki dua sisi. Yang pertama adalah persona pribadinya sang
capres, dan kedua adalah partai apa yang ada di belakang tokoh tersebut. Mungkin
ada banyak pandangan kurang baik pada partai politik, namun pandangan pada
sosok capres yang mau bicara dan mendengar pertanyaan anak muda, layak untuk di
puji. Dari sana anak muda bisa melihat gagasan dan komitmennya tentang arah
bangsa.
Seharunya semua capres berani hadir di acara seperti ini. Mau
mendengarkan pertanyaan anak muda yang fokus pada isu lingkungan, demokrasi,
pluralisme dan teknologi, dan bisa menyampaikan gagasannya. Walau pun jumlah
mereka tidak begitu banyak, namun mereka cermin dari arah peradaban negara. Negara
yang pluralis, demokratis, kreatif, dan peduli pada isu lingkungan hidup.
Melihat acara seperti ini, membuat debat capres dan cawapres
menjadi kurang menarik. Memang ada substansi di sana, tapi yang lebih menonjol
adalah intrik dan jebakan untuk membuat lawan bicara tampak tidak tahu.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya