Presiden Intelektual

Kemarin Sore menonton tayangan dialog Anis Baswedan dengan beberapa anak muda di Jakarta. Cukup hebat jawabannya, dengan durasi yang cukup panjang. Para penanya juga bukan sembarangan, sebagian tampak orang yang konsen di bidangnya. Jawaban Pak Anis juga cukup baik dan lugas, tidak bertele-tele, atau malah berkoar-koar dengan janji dan ilusi. Dari tiga calon presiden, hanya inilah yang komunikasinya layak untuk disimak, begitulah menurutku. Sebab beliau adalah intelektual, dan dari rekam jejaknya, ia sudah pernah sukses berada di jabatan birokrasi.

Pemilihan presiden tahun ini berbeda dengan tahun 2014 lalu, saat aku pertama kali mendapatkan hak pilih. Saat itu kepercayaan kepada SBY tidak cukup baik, ada banyak kasus yang menyeret keluarga Cikeas. Dampaknya adalah, partai oposisi yakni PDIP naik pamor dan memenangkan sosok calon presiden. Aku juga memilih presiden dari PDIP waktu itu. Sebab aku melihatnya sebagai sosok sipil, menurutku waktu itu, dan juga ada banyak pendapat yang kuikuti di sana, negeri ini lebih butuh pemimpin dengan latar belakang sipil dari pada militer.

Namun kemudian aku melihat fakta lain, tidak peduli latar belakang sipil atau militer, politik selalu memiliki unsur kompromi dan manipulasi. Kekecewaan pertama adalah soal tiadanya bagi-bagi jabatan, yang mungkin di awal-awal coba untuk diwujudkan dengan berbagai pencitraannya. Namun pada akhirnya pembagian jabatan dengan partai koalisi itu tidak bisa dihindari. Mereka lebih memilih untuk bicara “moral” tidak bagi-bagi jabatan, ketimbang menganggap itu adalah keniscayaan.

Atau memang, sebaiknya janji kampanye itu tak seharusnya dipercaya. Semua calon memiliki janji kampanye, namun jangan pedulikan itu, pilihlah salah satu yang memungkinkan jauhnya kerusakan untuk negeri, ketimbang percaya dengan janji kampanye yang dibuatnya. Akui saja kalau siapa pun presidennya nanti, pastinya akan memberikan unsur pembangunan, unsur perbaikan, dan kadang juga ada kerusakan.

Dalam fase ini, aku lebih percaya pada cara pandang intelektual. Sebab ide dan imajinasi akan adanya negeri ini dibangun oleh tokoh-tokoh intelektual, yang kemudian berpolitik untuk membantu sesama bangsanya. Sebut saja HOS Cokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, dan juga Tan Malaka. Sosok militer baru ada setelah jaman jepang, dan mulai membesar saat momentum mempertahankan kemerdekaan. Bangsa ini butuh militer yang hebat, juga butuh banyak interpreneur, tapi arah laju negara adalah produk dari intelektual.

Setelah Ir. Soekarno, intelektual pemimpin negeri ini adalah Abdurrahman Wahid. Dia menata negeri menuju demokrasi dan pluralisme. Sebuah cara pandang dunia yang terbaik saat ini. Namun dia bukan tokoh yang mudah berkompromi, dan itu membuatnya dijegal banyak pihak, hingga dilengserkan.

Mungkin memang butuh kompromi untuk mempertahankan sesuatu. Mungkin butuh sedikit mengalah pada kepentingan tertentu agar tetap aman, juga dengan tujuan mempertahankan manfaat untuk banyak pihak. Namun, kompromi seorang intelektual lebih layak diikuti dibandingkan dengan petugas partai.

Di pemilu tahun ini, rasanya seperti dihadapkan pada tiga pilihan yang memiliki dua sisi. Yang pertama adalah persona pribadinya sang capres, dan kedua adalah partai apa yang ada di belakang tokoh tersebut. Mungkin ada banyak pandangan kurang baik pada partai politik, namun pandangan pada sosok capres yang mau bicara dan mendengar pertanyaan anak muda, layak untuk di puji. Dari sana anak muda bisa melihat gagasan dan komitmennya tentang arah bangsa.

Seharunya semua capres berani hadir di acara seperti ini. Mau mendengarkan pertanyaan anak muda yang fokus pada isu lingkungan, demokrasi, pluralisme dan teknologi, dan bisa menyampaikan gagasannya. Walau pun jumlah mereka tidak begitu banyak, namun mereka cermin dari arah peradaban negara. Negara yang pluralis, demokratis, kreatif, dan peduli pada isu lingkungan hidup.

Melihat acara seperti ini, membuat debat capres dan cawapres menjadi kurang menarik. Memang ada substansi di sana, tapi yang lebih menonjol adalah intrik dan jebakan untuk membuat lawan bicara tampak tidak tahu.

Komentar