Lambat Membaca

Butuh waktu empat hari untuk menamatkan satu novel 400 halaman karya Paulo Coelho. Saat ini baru setengah ulasan yang bisa kutuliskan dari buku itu. Ada banyak hal yang kupikirkan, tapi tak bisa terealisasi dalam bentuk kata. Rasanya aku memang pembaca yang lambat, dari dulu hingga sekarang. Ketika SMA, aku melihat temanku bisa menyelesaikan novel Eragon dengan 800 halaman lebih, hanya dalam waktu tiga hari. Kabarnya ada yang bisa menyelesaikan semalam waktu itu. Temanku yang satunya lagi menyelesaikannya dalam waktu seminggu. Aku butuh waktu sebulan untuk menamatkannya. Benar-benar lambat daya bacaku.

Guruku bahasa Arab zaman Aliyahku pernah bilang, “Ente mungkin lambat dalam menangkap, tapi ente sungguh-sungguh”. Mungkin dia tahu sejak dahulu, kalau kecerdasanku tidak terlalu tinggi, tapi beliau cukup menghibur saat bilang aku cukup rajin. Namun aku sadar, saat ini kesungguhanku tak seperti dulu. Ada banyak waktu yang dengan senang hati kubuang, untuk hal-hal yang sebenarnya aku tidak terlalu antusias dengannya. Ada banyak waktu di mana aku mengabaikan antusiasmeku sendiri pada buku, dan berpaling pada media sosial.

Hari ini begitu banyak hal yang mendistraksi, tapi sebenarnya hal itu tak bisa dijadikan alasan. Alasan utamanya adalah, aku yang tak mengutamakan misiku dengan hal lain yang tidak penting. Padahal aku sudah berjanji untuk membaca lebih banyak buku, dan kemudian mengulasnya. Tak maslah bagaimana hasil ulasannya, yang lebih penting adalah aku sudah membaca dan punya komentar atas buku tersebut. Kucoba untuk berganti dari satu buku fiksi ke non-fiksi, dan dilanjutkan dengan fiksi lagi. Ini cukup membantu untuk meringankan pikiran, dan juga untuk menambah rasa penasaran pada bacaan selanjutnya. Terlalu banyak baca fiksi akan membosankan, walau itu ringan. Sebaliknya, membaca non-fiksi memang berat, tapi akan lebih ringan sebab sadar kalau setelahnya akan membaca fiksi.

Novel terakhir yang kubaca itu mengingatkanku pada mimpi-mimpi yang fana yang kumiliki. Sesuatu yang ditawarkan agar diinginkan, namun sebenarnya mereka hanya menjual ilusi, bisnis hasrat dan kepalsuan. Saat ini mimpi-mimpi itu sudah berlalu, seharusnya aku beranjak pada kenyataan. Pada apa yang sebenarnya berarti untuk digapai. Bukan level yang tinggi, atau popularitas. Bukan kekuasaan atau dianggap tokoh hebat. Hanya cinta yang kuinginkan, dan aku yakin semua orang juga menginginkannya. Sebab semua orang membutuhkannya. 
Sebab hidup tak berarti jika hanya berisi kesepian.
Semoga aku bisa lebih aktif pada hal-hal yang kusukai. Lebih antusias. Mampu bertahan dengan itu tanpa berat hati, dan semoga menjadi lebih hidup karena itu semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"