Yang Berlalu

Hai blog

Selamat tahun baru, untukku, dan juga untukmu

Senang sekali bisa bangun pagi di awal tahun ini. Walau tak sepagi yang seidealnya, tapi ini tetaplah pencapaian pertama dan terbaik di tahun ini. Semoga bulan-bulan penuh insomnia segera berakhir. Semoga hari yang segar dan tatapan cerah bisa terus berlangsung.

Tadi malam aku tidak ikut neko-neko. Ada yang mengajak bebakaran, tapi aku tidak berminat. Bukan karena aku tak suka, tapi karena merasa tak perlu. Aku duduk dan membaca buku Takdir Pangeran Diponegoro. Buku yang sudah kubeli dua inggu lalu, namun tak kunjung kubaca. Sebab antrean buku lain masih ada. Sebab aku lambat dalam membaca buku. Yah, perlu diakui begitu memang.

Dua hari kemarin aku menelefon rumah. Satu hal yang jarang dan juga enggan kulakukan. Aku memutuskannya sebab dorongan hati. Awalnya aku ingin ngomong semua hal, tentang kekecewaan, tentang sakit hati dan rasa benci, tapi tak sedramatis itu yang terjadi. Aku bicara basa-basi, dan pada titik tertentu aku mengungkapkan perasaanku. Walau aku tak senang mendengar tanggapannya, aku bisa lebih tenang setelah melakukannya. Mungkin ini lebih pada soal uneg-uneg yang perlu dikeluarkan, dan perlu diungkapkan pada orang yang tepat, kepada bapakku.

Sebagaimana dalam film Home Alone, Keluarga memberikan perasaan yang rumit. Seberapa besar pun kebencian kita pada mereka, pada akhirnya mereka juga kita rindukan. Tidak persis begitu, tapi rasanya ada sambung-rasa antara ungkapan itu dengan hidupku. Yang jelas, melupakan keluarga adalah kemustahilan. Tak ada niat dariku untuk melupakan keluarga, namun banyak yang membuatku benci mengingatnya, hingga aku lupa bahwa mereka adalah sandaranku. Bahkan bisa dibilang yang utama. Aku tak sepenuhnya menyadari hal ini, lebih karena kebodohan dan kesombonganku sendiri.

Sewaktu aku melihat dari sebuah situs data, bahwa tempat utama seseorang “bersandar” adalah keluarga, aku tak bisa menyangkal kebenarannya. Justru aku mulai menggali lagi hal-hal mengenai keluarga. Mengingat seberapa banyak keluargaku mendukung kehidupannya, dan akhirnya aku tahu. Aku tak akan pernah bisa menghitungnya.

Sampai sekarang ingatan menyakitkan soal keluarga itu masih ada, dan mungkin tak akan bisa hilang. Namun ingatan kebaikan keluarga juga tak bisa dikesampingkan. Semoga saja keduanya bisa terjalin untuk mendidik diri. Bapakku bilang, Wes gak usah dieleng-eleng sek mbiyen-mbiyen, saiki dilakoni sek apik ae piye mengareppe. Kalimat itu menenangkan. Kembali bapakku menyuruh untuk mendoakan ibuku sehabis Shalat, hal yang enggan kulakukan. Sebab mengingatnya saja membuatku kesal.

Rasanya hal ini juga harus berlaku dengan banyak rasa sakit yang berlalu. Tak perlu mengingatnya dan menggali dendam pribadi.

Yang berlalu harus menjadi refleksi, bukan obsesi.

Tidak semudah mengatakannya. Jelas sangat tidak mudah jika bagiku, tapi yang lebih baik musti dipilih. Ada banyak pilihan yang sulit untuk kujangkau di luar sana, tapi pilihan dalam hati selalu bisa.

Aku tak ingin menuliskan cerita ringkas tahunan. 2023 sudah berlalu, dan ada tragedi besar di dalamnya. Ibuku meninggal pertengahan tahun kemarin. Aku menguatkan diriku untuk menerima itu, juga banyak hal yang terjadi dibaliknya. Sebagaimana pun beratnya, aku harus berusaha mendamaikan diri pada yang sudah berlalu. Sudah cukup untuk kulampiaskan semua. Aku sudah ngomong ke keluargaku. Aku sudah tak mau lagi diganggu dengan keputusanku. Sudah kubakar juga ijazahku. Sudah seharusnya untuk beranjak.

Terima kasih Tuhan, untuk banyak hal.

Berkahilah semua anugerah ini, dan juga mereka yang memberikannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"