Rasanya Aku Butuh Psikolog

Badanku tidak enak sore ini. Lemas, meriang, tidak terlalu pusing, tapi terasa sekali tidak fit untuk melakukan sesuatu. Punggungku juga terasa pegal akhir-akhir ini. Harus diakui kalau aku kurang menjaga kesehatan selama ini, tidak banyak bergerak dan membawa diri olah raga. Namun cuaca memang sedang buruk. Dingin terus menerpa, hujan menjadi musim yang begitu menyulitkan tubuh. Mungkin tubuhku sendiri memang sedang ringkih, tidak bersemangat secara jiwa dan ragawi.

Beberapa malam ini aku banyak insomnia. Kuhabiskan waktu dengan main PS, atau membaca buku, dan kadang menonton film. Bahkan sampai aku sudah terlalu bosan pun, diriku belum juga bisa tidur. pikiran kembali melayang pada hal-hal yang memang belum selesai pada diriku. Tentang keluarga, cinta, dan juga cita-cita. Saat ini, ketika aku merasa diriku tak berdaya, aneka persoalan yang belum selesai itu malah tak bisa terdamaikan. Terkadang aku merasa ingin marah dan mengumpat-umpat sendiri. Rasanya aku membutuhkan seorang skiater untuk menangani ini. Suatu perkara yang kukira aku bisa menanganinya, nyatanya sampai saat ini tak ada perkembangan apa-apa.

Kemarin aku banyak diajak untuk berobat ke dokter gigi. Walau selama ini aku tidak pernah mengeluh soal gigi, tapi lebih baik berobat mulai sekarang, ketimbang nanti berujung terlalu parah, malah akan menghabiskan banyak biaya, begitu pesannya kepadaku. Namun aku merasa tidak begitu perlu. Aku memang malas menggosok gigi saat kecil, gigiku banyak kuning sebab itu. Tapi aku cukup rajin gosok gigi saat SMA. Saat kuliah, barang yang selalu kubawa di tasku adalah sikat gigi, sebab aku bisa melakukannya di mana saja. Kalau soal sabun, aku bisa minta teman, pasta gigi juga begitu, tapi sikat gigi tak bisa terus-terusan beli di tempat lain. Aku juga bukan penikmat kopi yang terlalu, yang setiap hari mewajibkan dirinya pada satu atau dua gelas kopi. Perasaan lain yang membuatku enggan untuk periksa di dokter gigi adalah, aku merasa tak mungkin punya sakit parah soal gigi. Ini mungkin sangat naif, tapi beginilah keyakinanku;

Aku merasa jalan hidupku sudah terlalu berat. Tak seharusnya penyakit yang sepele, seperti sakit gigi, berada untukku. Aku yakin, Tuhan Yang Maha Rahim pastilah mengerti bahwa aku tak perlu merasakan sakit gigi. Dia tak perlu mempersulit keadaanku dengan itu, sebab saat ini sudahlah terlampau sulit. Sakit gigi adalah persoalan kelas rendah, ketimbang sakit hati(sebagaimana lirik lagu dangdut)hehehe.

Kita bisa melihat, di jalan-jalan, atau di tempat-tempat yang perekonomiannya rendah, di sana akan lebih banyak penyakit rendahan. Mungkin pilek, masuk angin, atau gatal-gatal. Sedangkan di tempat dengan perekonomian tinggi, akan banyak muncul penyakit yang aneh-aneh. Yang dalam pandangan orang rendahan, pastinya itu tak terjangkau untuk diobati. Tapi ini hanya pandangan biasa, mungkin bisa dibilang pandangan batin orang biasa, tanpa data yang kredibel. Tapi pengertian dalam batin tidak selalu kalah dengan management-data bagi manusia pada milenium ini.

Kini harus kusimpulkan sendiri, kalau aku lebih butuh skiater, atau sikolog, atau entahlah, yang sebagainya itu. Sebab aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Awalnya memang biasa saja. Aku tak merasa membutuhkan yang seperti itu. Segalanya akan berjala biasa saja seiring waktu, begitu pikirku. Mungkin memang saat itu aku belum bisa menerima keadaan. Masih ingin melampiaskan ketidakterimaanku pada mereka. Termasuk kepada yang sudah mati. Aku berharap ada waktu untuk mengumpat sepuasnya, mengatakan kalau yang dia omongkan selama ini taek, hanya pembelaan diri seorang munafik yang ingin menutupi kesalahannya. Begitu pun yang lainnya, yang menyebabkan banyak trauma dalam diriku saat ini, yang membuat kondisi menjadi tidak baik-baik saja.

Namun harus kuakui, ada ambiguitas dalam diriku. Sebenarnya, aku sendiri merasa kurang baik dalam beribadah. Tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan salat lima waktu, apa lagi dengan ibadah yang lainnya. Lebih banyak aku mengalihkan diri dengan baca buku, nonton, atau bermain catur secara online. Pergi ke pskiater terasa seperti keputusan manusia kelas menengah di kota, yang merasa diri sudah modern, dan entah disadari atau tidak, berpikir dengan cara sekuler. Keresahan adalah masalah sains, bukan persoalan agama.

Dunia pengobatan bukan hanya persoalan biologis, tapi juga persoalan jiwa, dan dokter jiwa itu bernama psikolog. Saat sakit fisik kita pergi ke dokter, saat sedang sakit non-fisik kita pergi ke pskiater. Padahal aku lahir dalam lingkungan desa, terbiasa mendengarkan guru ngaji yang mengatakan, “bila hatimu resah, maka tandanya kamu sedang jauh dari Tuhan, sebab Dia adalah kedamaian”. Aku pun meyakini itu, bahwa beribadah adalah langkah menuju Tuhan, dan itu merupakan jalan kedamaian, sedang pergi ke sikolog untuk mencari kedamaian tak dapat dianggap menuju Tuhan. Seperti semacam pelarian dari keresahan. Semacam pergi ke tempat candu. Tapi Karl Marx pernah bilang kalau Agama adalah candu, tempat pelarian bagi orang-orang yang resah dalam ketertindasannya. Tampaknya menjadi semakin rumit untuk memikirkannya. Jika semakin kulanjutkan, ini semua akan menjadi analogi yang rancu dan menyesatkan.

Tulisan tahun lalu

 

Komentar