Rasanya Aku Butuh Psikolog
Beberapa malam ini aku banyak insomnia. Kuhabiskan waktu
dengan main PS, atau membaca buku, dan kadang menonton film. Bahkan sampai aku
sudah terlalu bosan pun, diriku belum juga bisa tidur. pikiran kembali melayang
pada hal-hal yang memang belum selesai pada diriku. Tentang keluarga, cinta,
dan juga cita-cita. Saat ini, ketika aku merasa diriku tak berdaya, aneka
persoalan yang belum selesai itu malah tak bisa terdamaikan. Terkadang aku
merasa ingin marah dan mengumpat-umpat sendiri. Rasanya aku membutuhkan seorang
skiater untuk menangani ini. Suatu perkara yang kukira aku bisa menanganinya,
nyatanya sampai saat ini tak ada perkembangan apa-apa.
Kemarin aku banyak diajak untuk berobat ke dokter gigi.
Walau selama ini aku tidak pernah mengeluh soal gigi, tapi lebih baik berobat
mulai sekarang, ketimbang nanti berujung terlalu parah, malah akan menghabiskan
banyak biaya, begitu pesannya kepadaku. Namun aku merasa tidak begitu perlu.
Aku memang malas menggosok gigi saat kecil, gigiku banyak kuning sebab itu.
Tapi aku cukup rajin gosok gigi saat SMA. Saat kuliah, barang yang selalu
kubawa di tasku adalah sikat gigi, sebab aku bisa melakukannya di mana saja.
Kalau soal sabun, aku bisa minta teman, pasta gigi juga begitu, tapi sikat gigi
tak bisa terus-terusan beli di tempat lain. Aku juga bukan penikmat kopi yang
terlalu, yang setiap hari mewajibkan dirinya pada satu atau dua gelas kopi.
Perasaan lain yang membuatku enggan untuk periksa di dokter gigi adalah, aku
merasa tak mungkin punya sakit parah soal gigi. Ini mungkin sangat naif, tapi
beginilah keyakinanku;
Aku merasa jalan hidupku sudah
terlalu berat. Tak seharusnya penyakit yang sepele, seperti sakit gigi, berada
untukku. Aku yakin, Tuhan Yang Maha Rahim pastilah mengerti bahwa aku tak perlu
merasakan sakit gigi. Dia tak perlu mempersulit keadaanku dengan itu, sebab
saat ini sudahlah terlampau sulit. Sakit gigi adalah persoalan kelas rendah,
ketimbang sakit hati(sebagaimana lirik lagu dangdut)hehehe.
Kita bisa melihat, di
jalan-jalan, atau di tempat-tempat yang perekonomiannya rendah, di sana akan
lebih banyak penyakit rendahan. Mungkin pilek, masuk angin, atau gatal-gatal.
Sedangkan di tempat dengan perekonomian tinggi, akan banyak muncul penyakit yang
aneh-aneh. Yang dalam pandangan orang rendahan, pastinya itu tak terjangkau
untuk diobati. Tapi ini hanya pandangan biasa, mungkin bisa dibilang pandangan
batin orang biasa, tanpa data yang kredibel. Tapi pengertian dalam batin tidak
selalu kalah dengan management-data bagi manusia pada milenium ini.
Kini harus kusimpulkan sendiri, kalau aku lebih butuh
skiater, atau sikolog, atau entahlah, yang sebagainya itu. Sebab aku tak bisa
mengendalikan diriku sendiri. Awalnya memang biasa saja. Aku tak merasa
membutuhkan yang seperti itu. Segalanya akan berjala biasa saja seiring waktu,
begitu pikirku. Mungkin memang saat itu aku belum bisa menerima keadaan. Masih
ingin melampiaskan ketidakterimaanku pada mereka. Termasuk kepada yang sudah
mati. Aku berharap ada waktu untuk mengumpat sepuasnya, mengatakan kalau yang
dia omongkan selama ini taek, hanya pembelaan diri seorang munafik yang
ingin menutupi kesalahannya. Begitu pun yang lainnya, yang menyebabkan banyak
trauma dalam diriku saat ini, yang membuat kondisi menjadi tidak baik-baik
saja.
Namun harus kuakui, ada ambiguitas dalam diriku. Sebenarnya, aku sendiri merasa kurang baik dalam beribadah. Tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan salat lima waktu, apa lagi dengan ibadah yang lainnya. Lebih banyak aku mengalihkan diri dengan baca buku, nonton, atau bermain catur secara online. Pergi ke pskiater terasa seperti keputusan manusia kelas menengah di kota, yang merasa diri sudah modern, dan entah disadari atau tidak, berpikir dengan cara sekuler. Keresahan adalah masalah sains, bukan persoalan agama.
Dunia
pengobatan bukan hanya persoalan biologis, tapi juga persoalan jiwa, dan dokter
jiwa itu bernama psikolog. Saat sakit fisik kita pergi ke dokter, saat sedang
sakit non-fisik kita pergi ke pskiater. Padahal aku lahir dalam lingkungan
desa, terbiasa mendengarkan guru ngaji yang mengatakan, “bila hatimu resah,
maka tandanya kamu sedang jauh dari Tuhan, sebab Dia adalah kedamaian”. Aku pun
meyakini itu, bahwa beribadah adalah langkah menuju Tuhan, dan itu merupakan
jalan kedamaian, sedang pergi ke sikolog untuk mencari kedamaian tak dapat
dianggap menuju Tuhan. Seperti semacam pelarian dari keresahan. Semacam pergi
ke tempat candu. Tapi Karl Marx pernah bilang kalau Agama adalah candu, tempat
pelarian bagi orang-orang yang resah dalam ketertindasannya. Tampaknya menjadi
semakin rumit untuk memikirkannya. Jika semakin kulanjutkan, ini semua akan
menjadi analogi yang rancu dan menyesatkan.
Tulisan tahun
lalu
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya