Empat Kali Nonton Film Di Bioskop Dan Dibayari

Film Bioskop

Aku berani bilang bahwa diriku pecinta film, tapi aku sama sekali bukan pecinta bioskop. Lebih banyak waktu kuhabiskan untuk nonton film di laptop, handphone, dan kali ini tablet. Ya, sampai detik ini aku masih begitu familiar dengan film bajakan. Masih menonton film di situs bajakan di internet. Rasanya aku masih belum berada pada level berlangganan nonton film secara legal, hanya beberapa waktu aku bisa mendapatkannya dari langganan kuota internet. Sisanya adalah hasil dari berselancar di beberapa situs bajakan. Aku tak punya pembelaan diri atas ini, anggap saja ini dosa kecilku yang sampai detik ini belum juga kutuntaskan.


Aku tahu beberapa tokoh legendaris dunia film, sebagian kecil tokoh Indonesia, sebagian besar adalah tokoh mancanegara. Sebut saja Robert D Niro, Tom Hank, John Travolta, Michel Yeoh, Chu Yun Fat, Helen Miren, Engelina Joly, dan juga Monica Belucci. Namun di antara banyak tokoh terkenal yang kutahu, tokoh film favoritku saat ini adalah Denzel Washington. Bagiku dia tidak hanya bermain aktor dan membuat aksi heroik, tapi juga menggugah jiwa.

Aku tidak memungkiri bahwa kalau banyak tokoh lain, baik yang kusebut tadi atau tidak, juga mampu membuat film yang menggugah. Contohnya saja Tom Hank dalam film Forest Gum, dia amat keren. Namun yang sampai saat ini menjadi list utama di kepalaku adalah film Denzel Washington, tidak hanya di film Trilogi Equallizer, tapi juga beberapa filmnya yang lain. Denzel Wahsington adalah potret semangat amerika dalam dunia perfilman.

Sedangkan untuk film Indonesia, kasta tertinggi di kepalaku masih di pegang oleh Si Naga Bonar alias Dedy Mizwar. Bagiku, nonton film Dedi Mizwar bukan hanya soal menikmati film dalam negeri, tapi juga belajar potret peradaban Indonesia yang seharunya. Tidak heran kalau pak SBY, yang saat itu menjadi presiden, dan orang yang cukup intelek, bilang kalau dia suka menonton Kiamat Sudah Dekat. Sebab sinetron itu memang sarat dengan nilai agama, tidak hanya syariat, tapi juga hakikat dan makrifat. Aku tidak pernah lupa bagaimana Fandi(Andre Taulani), setelah dia bisa memenuhi syarat untuk bisa salat, diharuskan untuk mengenal ilmu Ikhlas untuk dianggap layak melamar Sarah(Zaskia Mecca). Juga Haji Romli(Dedy Mizwar) yang menerima anak angkat seorang batak yang beragama kristen.

Hari ini, tokoh populer dalam film Indonesia adalah Reza Rahardian. Beberapa filmnya aku suka, tapi yang paling kusuka adalah Dua Hati, Tiga Dunia Satu Cinta, menurutku film itu begitu Indonesia untuk hari ini, khususnya masyarakat Betawi di Jakarta. Dalam hati kecilku, aku sudah tidak begitu punya ekspektasi besar dengan film Indonesia. Entah karena aku begitu teracuni oleh film Eropa dan Amerika, atau seleraku yang kurang baik. Namun aku punya optimisme dalam satu hal untuk film Indonesia.

Dalam hal film trailer, film laga, dan film aksi, mungkin film dalam negeri tidak banyak menarik, tapi untuk film comedy, romantika dan juga film-film yang mengedepankan nilai cerita seperti film Forest Gum, atau The Man Called Otto, film dalam negeri masih punya kans untuk disandingkan dengan film mancanegara. Kukira semua itu tergantung dari hebatnya sutradara dan kepedulian para produser dengan film yang benar-benar memiliki nilai. Film yang tidak hanya menghadirkan paras rupawan dan kisah asmara yang hura-hura.

Dan entah kenapa, setelah selesai era film horor dari Suzana, aku kurang suka dengan film horor Indonesia. Walau pun pemeran utama film horor itu Ayu Azhari, bagiku film itu biasa saja. Hehehe

Kembali Ke Soal Bioskop

pertama kali aku nonton film di bioskop adalah di Jogja. Bukan keinginanku, melainkan diajak temanku, Jupiter, untuk menemaninya bersama teman-teman cewek seangkatannya, dan yang paling penting adalah dibayari. Aku sama sekali tak peduli dengan genre filmnya, yang jelas aku pernah punya pengalaman masuk bioskop,. Itulah yang menurutku penting saat itu.

Sampai di AMPLAZ, ternyata hanya aku dan temanku itu yang cowok, empat lainnya adalah teman-teman cewek seangkatan temanku. Kucoba untuk berkenalan, dan berusaha untuk humble dengan mereka, dan ternyata mereka lebih humble dari yang kupikirkan. Syukurlah, rasanya tidak terlalu kaku, begitu dalam pikirku.

Menjelang masuk bioskop, aku baru tahu kalau kita akan menonton film Horor, judulnya Mama And Lily. Filmnya cukup seram, dan ndilalah aku duduk di samping cewek-cewek temanku ini. Saat scene yang cukup seram, cewek ini pada menjerit ketakutan, bahkan kadang tanganku tiba-tiba di tarik dan ditekan dengan kukunya yang tajam. Aku sendiri jadi kikuk, mau kutarik tanganku rasanya tidak enak, tapi kalau kubiarkan saja aku kesakitan dan malah gak enak nonton. Kalau tadi ketakutan begini, kenapa malah memilih nonton film horor sih !, aku hanya bisa bicara sendiri dalam hati. Tapi ya sudahlah, sebagai teman yang dibayari nonton film, aku bisa menerimanya dengan setengah lapang dada. Hahaha

Pengalaman nonton film ke dua masih berada di bioskop yang sama, kali ini bukan lagi dibayari teman, melainkan di traktir Bu Dosen, Bu Fatimah Husein namanya. Aku tidak suka gaya mengajarnya, terutama sekali aku tidak suka gaya bicaranya, bagiku dia cukup arogan, tapi mau bagaimana lagi, menjadi mahasiswanya adalah takdir yang hanya bisa diterima, walau pun tidak dengan lapang dada. Sisi baiknya adalah, dia orang yang suka mentraktir makan, sambil kuliah di bawah masjid UIN yang adalah juga termasuk restoran.

Saat itu jam kuliah, tapi dia harus pergi untuk chek up untuk perjalanan ke luar negeri. Lalu dia bertanya, “Kalian sudah nonton film 99 Cahaya Di Langit Eropa?”, “Belum bu” jawab kami bersama. “Yha, kalian nonton saja itu, biar nanti kalian tahu Wina itu seperti apa”. Dia memberi kami uang tiga ratus ribu dan itu cukup untuk kami bersepuluh nonton film di bioskop. Kunikmati momen menonton film itu dengan sepenuh hati, kuanggap ini sisi baik dari menjadi mahasiswa yang diajar oleh Bu Fatimah.

Ketiga kalinya aku nonton film dan dibayari adalah saat menjelang kelulusan. Saat itu aku sedang melamun di kost, secara tiba-tiba dua orang temanku menghubungi untuk mengajak nonton film Wonder Woman. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengiyakan. Sebenarnya aku sudah bersiap untuk membayar, tapi kata mereka, “Aku saja yang bayar, aku yang ngajak kamu kok”, aku pun tidak menolak kebaikan itu.

Itu adalah pengalaman menonton paling menarik menurutku, dengan layar yang lebih lebar, mode soun stereo dengan teknologi Dolby Atmos terbaru, dan yang gak kalah penting adalah filmnya seru, dengan Gal Gadot sebagai pemeran utamanya. Tiga pengalaman menonton ini membutaku berkesimpulan bahwa, selama kita bisa menjadi teman yang baik, akan ada banyak hal istimewa yang mudah kita dapatkan.

Beberapa orang dekat kita banyak yang kesepian, dan kita cukup ada sebagai teman. Tidak perlu muluk-muluk untuk membawa gagasan dan ide yang brilian. Menjadi teman yang baik Hanya butuh kesetiaan dan saling empati. Hal ini penting aku bicarakan di sini, sebab aku merasa terlahir untuk mencintai pertemanan.

Pada masanya aku pernah berpikir untuk menjalin pertemanan dengan mode untuk mencari jaringan, koneksi untuk tujuan A,B,C. Namun segera kuhapus pikiran itu ketika aku mendapatkan akses kerja dari seorang teman yang tak pernah kubayangkan dia memilikinya. Dengan berteman secara apa adanya pula, aku telah bisa pergi ke mana-mana, ngopi di tempat-tempat istimewa dan juga belajar banyak hal akademik. Awalnya aku tidak begitu sadar mengenai hal ini, tapi setelah membaca buku Menjual Diri milik Alm. Pak Prie GS, aku menjadi sadar bahwa selama ini aku memang begini, berteman apa adanya. Mungkin tidak dengan semua orang, tapi entah kenapa, beberapa orang itu begitu tepat.

Update terakhirku nonton film dan dibayari adalah minggu kemarin. Entah kebetulan atau tidak, Isma, temanku dari Jakarta mengisi liburannya dengan berkunjung ke Tegal. Entah apa yang ada di pikirannya soal Tegal, aku merasa tidak banyak destinasi yang bisa dikunjungi di sini. Aku hanya berpikir, bahwa dia selalu punya sudut pandang lain tentang tempat yang baginya layak untuk dikunjungi.

Sebelumnya kita sudah berkomunikasi dan pas dia sudah di Tegal, dia mengajakku untuk nonton film Seni Memahami Kekasih, yang kebetulan juga film itu masih tayang di Tegal. Aku tidak begitu punya banyak ekspektasi untuk film yang kabarnya digarap oleh SMK ini. Yang ada di benakku adalah, Kalis Mardiasih dan Agus Mulyadi adalah dua penulis mojok.co yang sangat familiar kubaca di tahun 2014-15, dan aku cukup suka narasinya. Untuk selebihnya, biarkan film itu sendiri yang bercerita.

Secara keseluruhan, menurutku film ini menarik, sebab menceritakan jogja dari perspektif mahasiswa kos-kosan biasa, bukan mode FTV. Aneka konflik yang dihadirkan juga khas dengan konflik masyarakat kelas bawah, serta gaya bahasa yang Jawa yang apa adanya, tidak terlalu kromo dan juga tidak terlalu ngoko. Menurutku, menonton film ini adalah melihat kehidupan kelas bawah yang tidak hanya berisi sesuatu yang tragis, tapi juga romantis dan humoris.

Aku sama sekali tidak punya kejanggalan dalam seluruh perjalanan film ini, yang jadi persoalan adalah bioskopnya yang terasa mirip layar tancap, layarnya kurang detail, bahkan mungkin sound-nya kalah baik dengan layar tancap di rumah. Namun karena ini juga termasuk dari pengalaman dibayari di bisokop, walaupun kelas murah, aku akan tetap mensyukurinya dengan sepenuh hati. Heheh. Sory ya Is...




Komentar