Entahlah Mak

Emakku, semoga Allah selalu mengasihimu, sebagaimana kau juga mengasihiku saat kecil.

Aku tak tahu apakah diriku ini didengar dan dikabulkan Tuhan. Sebab aku bukan anak yang soleh. Aku bukan anak yang dekat dengan Tuhan. Aku memang disuruh ngaji sejak kecil, disuruh untuk sering mendoakan orang tua, tapi kekecewaan kepada hidup membuatku mengabaikan banyak hal, banyak hal-hal penting, termasuk Tuhan. Di waktu belakangan aku pun tahu, bahwa kau juga tidak hanya mengabaikan jiwaku, tapi kau juga mengabaikan Tuhan.

Mak,

Aku tumbuh besar tanpa mengerti adanya sosok ibu. Kadang di sekolah atau di lingkungan rumah, aku selalu memandangi bagaimana seorang anak dekat dengan ibunya. Aku tak punya tempat untuk bersandar, yang paling aku butuhkan dalam hidupku. Rasanya ada kelainan dalam jiwa disebabkan oleh persoalan itu. Aku yakin kau tidak mengerti mak, dan sampai aku dewasa pun aku tetap tidak mengerti diriku. Terkadang aku bisa merasa bukan anakmu. Aku hanyalah anak kecil yang tumbuh besar di rumah yang tak ada ibu. Ada perasaan tak tentu ketika aku melihat seorang anak digendong oleh ibunya. Mungkin bagi mereka yang waktu kecil ke mana-mana digendong ibunya itu hal  biasa, tapi bagiku tidak. Aku sudah kehilangan hak paling mendasar sebagai seorang anak, hak dipedulikan.

Menjelang dewasa aku merasa ada yang aneh. Aku melihat beberapa anak yang ibunya juga pergi ke luar negeri, tapi pada akhirnya mereka kembali, entah setelah lima atau sepuluh tahun kemudian. Sedangkan aku yang sejak kecil ditinggalkan ibunya bekerja di luar negeri, sebab kabarnya selalu begitu. Bukan karena bapak dan ibuku bercerai, atau karena ibuku tidak mau lagi tinggal di rumah, atau ibuku sudah menikah lagi dengan orang lain. Ibuku pergi keluar negeri untuk mencarikan biaya hidup anaknya, begitulah yang kudengar dari semua orang. Padahal ibuku pergi karena memutuskan meninggalkan keluarga, lalu menikah siri dengan tetangganya.

Tapi di masa itu aku sama sekali tidak mengerti dengan keadaan yang terjadi. Aku hanyalah anak kecil yang masih butuh kasih sayang dan perhatian, dan aku tak mendapatkannya. Suatu hari aku pernah menulis surat untukmu mak. Tentu kutulis sesuai dengan penalaran dan perasanku waktu itu. Namun tampaknya kau juga tidak serius membacanya, kau sama sekali tidak peduli dengan isi perasaanku. Mungkin karena kau sudah nyaman dengan suami nikah siri-mu yang baru.

Saat aku melihat temanku yang ibunya pergi ke luar negeri dan pulang setelah lima tahun. Aku merasakan ada hal yang tidak beres. Tentu aku tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaan itu. Aku pun tidak berani menanyakannya pada orang lain. Aku tidak menuntut banyak hal hidupku waktu itu. Hal yang sangat jelas pada waktu itu ialah, aku tidak tahan hidup di rumah. Keadaan jiwa itu yang membuatku berani meminta untuk masuk SMA dan juga kuliah. Toh, janji untuk pulang tak pernah ditepati. Sehingga aku menjadi martir yang paling layak disalahkan saat kau tak pulang-pulang. Tak ada yang bisa mengerti penderitaan batinku mak. Anak yang sejak kecil ditinggalkan oleh ibunya, dan dijadikan tersangka sampai tuanya. Aku tidak hanya ditinggalkan, tapi juga di tipu dan dikhianati oleh semua keluargaku. Aku dianggap tak mengerti apa-apa, sedang mereka yang tahu juga tak peduli dengan terjadi. Akulah korban dari semua kebodohan ini mak.

Selama berhubungan lewat telefon, aku merasa sebagai ibu yang selalu layak dihormati dan dibenarnya omongannya, padahal kita tak pernah saling mengenal. Kamu melapor kepada mas saat aku sedikit keras bicara. Lalu aku kemudian dimarahi seluruh keluarga. Kamu merasa layak mengatur dan menyuruh aku harus bagaimana, padahal kamu juga penuh egois dan pengkhianatan. Kamu mengancam aku yang tidak menurut dengan ibu, merasa punya hak untuk mengutuk. Ah, tai. Hal itu benar secara ilmu, tapi sangat tolol secara perasan. Kamu sama sekali tak tahu dan peduli dengan perasanku. Kamu tak mengerti dengan jiwaku yang sejak kecil tak kenal sosok ibu.

Dahulu aku tak berani marah terus terang padamu. Aku takut kualat. Aku menahan semua perasaan marah itu dalam diriku. Tetapi saat kau sudah tiada dan aku semakin tahu semua kebodohan yang terjadi, aku sangat menyesal tidak melampiaskan marahku padamu. Hari-hari sat aku mengingat apa yang terjadi, aku begitu marah dengan semuanya, semua kebodohan di keluarga, dan aku adalah anak terakhir yang menjadi korbannya.

Namun bagaimana pun aku hanyalah seorang anak mak. Aku adalah anak dari bapak ibuku, aku adalah anak terakhir di keluarga. Aku tak bisa terus-menerus membenci bapak-ibu dan semua saudaraku. Aku butuh kedamaian. Aku tetapkah orang yang harus bersyukur karena sudah dilahirkan, diberikan jalan untuk mengenal dunia. Aku merasa beruntung sudah bisa pergi jauh untuk belajar dan membaca banyak buku. Tanpa keluargaku, semua itu tak akan bisa kujalani. Aku sangat berterima kasih kepadamu mak, dan juga semua keluarga. Aku berharap semuanya damai dan menemukan cahayanya masing-masing.

 

Ditulis spontan tanpa rencana 01-06-2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"