i;uhrgpaeuhgrv'A


"Yang terkuat dari semua prajurit adalah keduanya; Waktu dan kesabaran."

Leo Tolstoy(War And Peace)

Hai blog

Akhir-akhir ini, semangat untuk bercerita mulai tumbuh kembali. Aku merasa perlu menulis untuk melakukan sesuatu yang kuinginkan. Bukan karena kesepian, atau karena ada sesuatu yang ingin aku ungkapkan atau kurefleksikan. Lebih karena aku merasa harus memberikan waktuku untuk menulis. Terserah apa yang akan ditulis. Persetan dengan apa yang akan di-celoteh-kan. Aku hanya ingin memberikan diriku untuk pekerjaan ini.

Tahukah kamu apa yang membuat hidup ini bermakna?

Aku merasa tak memiliki jawabannya. Kukira pertanyaan itu hanya untuk rumput yang bergoyang, layaknya lagu Ebiet GAD. Tapi aku tergelitik pada suatu buku yang memperdebatkan soal makna dan kebijaksanaan. Ternyata dua hal itu punya dimensi yang berbeda. Orang yang belajar banyak ilmu kebijaksanaan belum tentu bermakna hidupnya, begitu pun sebaliknya. Mereka yang hidupnya bermakna tidak mesti banyak belajar kebijaksanaan. Namun aku yakin pada satu hal dari itu semua, mereka yang hidupnya bermakna pasti menjalani kebijaksanaan, bahkan tanpa perlu mengenalnya.

Sebagai mahasiswa filsafat, kata “kebijaksanaan” tidak begitu asing dalam kepalaku. Hal utama dalam belajar filsafat adalah terobsesi pada kebijaksanaan, sebab filsafat bermakna cinta akan kebijaksanaan. Namun aku tahu, tidak semua kisah cinta tak berakhir dengan saling memiliki. Jadi bisa dibilang kalau tidak semua orang yang terobsesi dengan filsafat memiliki kebijaksanaan. Kisah cinta kadang bertepuk sebelah tangan, kadang berakhir kecewa, walau semua pecinta menginginkan akhir yang bahagia.

Barangkali, filsafat adalah kisah cinta akan kebijaksanaan yang berlangsung seumur hidup. Makna adalah hasil, sedang kebijaksanaan adalah perjalanan. Ini akan menjadi perjalanan seumur hidup. Ini adalah perjuangan. Sepertinya aku tidak cukup tepat menilai perjuangan selama ini, sebab masih terobsesi dengan hal-hal di luar diriku. Padahal perjuangan itu berada di dalam. Terus bekerja dan memperbaiki diri adalah inti dari perjuangan. Terlalu menilai perjuangan ke luar diri adalah ciriku dalam membutuhkan validasi orang lain.

Diakui atau pun tidak, hal itu ada di kepada dan hatiku. Aku tak yakin bisa menyapu hal itu. Rasanya semua orang memilikinya walau sedikit. Yang jadi masalah dalam diriku adalah, aku masih terobsesi pada validasi orang lain. Terkadang hal itu Cuma sedikit, tapi kadang terlalu banyak. Seharusnya aku punya  kesadaran untuk berpaling dari obsesi itu. Sangat tidak mudah dengan semua ini. Aku harus bersabar untuk menjalaninya, sebab memang perlu konsistensi untuk menjalani perjuangan itu. Sebuah perjuangan melawan diri sendiri.

Berikutnya adalah tentang daya tahan untuk menjalaninya. Hal ini tentu bukan hanya soal perasaan, tapi juga tentang banyak hal dalam membawa raga. Tentang adanya materi, waktu, tenaga dan juga pikiran untuk terus berada di garis perjuangan melawan diri sendiri. Menata semua itu untuk terus-menerus belajar, dan terus siap menapaki fase lebih lanjut dalam menjalani hidup.

Aku ingin terus bisa hidup dan menulis untuk diriku sendiri. Sebab itu adalah caraku berkomunikasi dengan diriku yang kesepian. Aku ingat saat pertama kali diriku begitu rajin menulis puisi. Saat aku berada di kelas empat MI. Saat itu bahkan aku mengumpulkan uang jajanku untuk membeli buku puisi. Aku menulis soal bintang-bintang, soal Indonesia, soal ibu, dan aneka hal tentang perasaan diri. Waktu itu, bahkan aku tak sedikit pun berharap kata-kataku dimengerti. Aku hanya menuliskan kata dalam buku dan itu cukup.

Kini, setelah banyak waktu dan makanan yang kuhabiskan, juga setelah banyak kesalahan dan kebodohan yang kujalani, aku tak mau menjalani hidup dengan putus asa dan sia-sia. Aku hanya mau berjuang untuk diriku sendiri. Mungkin ini terasa konyol, aneh atau bahkan membual, tapi tak ada kata lain untuk mengakuinya.

NB: Bahkan aku bingung dengan tulisan ini, tapi beginilah caraku mengerti apa yang ada di hatiku sejak dulu. Dengan ribetnya tulisan ini, berarti masih banyak hal ruwet dalam diriku.

Komentar