Kutanya Diriku Sendiri

Belakangan ini aku merasa ingin sekali pulang. Bahkan sebelum puasa dan lebaran dimulai. Aku ingin merasakan suasana rumah. Aku rindu dengan tanah dan udara yang ada di sana. Aku rindu dengan makanan dan air yang ada di tempat di mana aku dilahirkan. Aku juga rindu dengan bapak dan saudara-saudaraku, meski tak pernah sepenuhnya hilang rasa sakitku atas mereka. Mungkin aku rindu kenyamanan itu, seperti seorang anak rindu kenyamanan di tubuh ibunya sebelum dilahirkan.

Namun aku belum juga pulang, sebab tak ada kemantapan hati untuk memutuskannya. Ada banyak sakit yang tak sembuh, dan masih begitu rumit rasa marah yang tak sanggup terdamaikan. Entah mungkin semua ini belum waktunya untuk sembuh, atau aku yang belum mampu mengobatinya. Semakin hari, keinginan untuk pulang – sebelum bulan puasa ini – semakin kuat. Aku harus membuat ijin pulang selama seminggu, tapi aku juga tidak akan kecewa jika kesempatan itu tak ada. Sebab bisa jadi itu bukanlah sesuatu yang sungguh untuk kuinginkan. Aku memang rindu rumah, tapi ada banyak hal yang membuatku benci untuk pulang.

Beginilah jika belum bisa berdamai dengan diri sendiri, pada akhirnya hanya menjadi pribadi yang ambigu. Apakah arti kedamaian sesungguhnya? Adakah ini sebuah perang yang belum usai? Perangku melawan diriku sendiri.

Terlintas dalam benakku, bahwa aku akan meluapkan semua emosi dan rasa sakit hatiku pada mereka. Tapi sebenarnya aku sadar bahwa itu bodoh dan tak beradab. Akan lebih baik jika aku di sini dan bersama sakit hatiku, ketimbang harus menyerang mereka dengan emosiku.

Begitulah ketika imajinasiku bermain bersama emosiku tentang keluarga.

Mulai kutanya diriku sendiri. Kenapa aku tak menjaga perasaan bapakku yang sudah tua? Bukankah sebaiknya kuupayakan dia untuk lebih tenang dan damai, agar bisa mendoakan anak-anaknya supaya lebih baik.

Mungkin akulah yang selama ini egois dan terus merasa ter sakiti.

Jika aku akan pulang, dengan niat itulah sebaiknya aku melangkah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terasing di "Maya Dunia"