Meniti Jalan
Hai blog.
Tiba-tiba aku ingin menyapamu. Aku kehilangan kemajuan dalam
menuliskan sesuatu. Hanya melamun, merokok, dan sambil mendengarkan Oasis di
depan laptop. Sebenarnya aku tidak benar-benar blank, atau writerblock,
atau mentok, atau apalah istilah untuk itu, aku hanya tidak berusaha sekuat tenaga untuk melakukannya.
Beginilah masalahku selama ini, buka karena aku tak bisa, tapi karena tak
berusaha dengan sekuat tenaga. Aku seperti ragu dengan diriku sendiri, dengan
kemampuanku sendiri, dengan apa yang kupilih, dan bahkan mungkin aku ragu
dengan kuasa Tuhan. Ah, bodoh sekali memang diriku dari dulu.
kemarin aku baru memutuskan hal besar dalam hidupku, untuk
hidupku. Aku pulang ke rumah dan berencana menetap di sini. Eh, bukan rencana,
tapi sudah mantap untuk melakukannya, eh, bagaimana yaa...
Lah, beginilah aku. Selalu takut dengan apa yang sudah
kuputuskan sendiri. Aku memang penakut, dan akhirnya menjadi peragu, sampai
pada ujungnya tak menjadi apa-apa. bahkan untuk sekedar menjadi orang biasa
saja rasanya tidak pantas.
Di samping karakterku yang seperti itu, sebenarnya aku
mengalami pergolakan batin yang tak karuan kemarin. Ada kekesalan yang tak bisa
kulampiaskan. Ada rasa dengki menjadi benci. Aku tak merasa menapak di tanah,
aku melayang tak berkesudahan tanpa tahu ke mana aku akan mendarat. Lalu aku
berdiam diri di rumah, dan perasaan mendarat, menjadi bagian dari tanah itu
ada. Kejadiannya memang tidak mewah dan tak sempurna, tapi aku merasa kembali
nyata.
Bila nanti aku gagal, memang hidupku sudah penuh dengan
kegagalan. Bukankah kata Chairil Anwar, hidup adalah menunda kekalahan. Sampai
saat ini, aku tak pernah menyesali pilihan besar dalam hidupku, mulai dari
sekolah di Blitar, kuliah di Jogja, tidak pulang setelah lulus, menolak untuk
jadi guru, aku selalu menganggap semua pilihan itu adalah bagian dari jalan
hidupku. Semua itu memang sudah takdirku.
Padahal dalam beberapa hal aku tidak bisa menerima takdir, tapi
semua ini adalah usahaku untuk menerimanya. Aku tak memberontak lagi, aku
melihat semuanya sebagai sesuatu yang tak dapat kukendalikan, dan aku hanya
perlu mengendalikan diriku, responku atas semua itu.
Sebenarnya, saat ini, saat aku memutuskan untuk menuliskan
ini, aku punya setengah keraguan pada apa yang sedang kujalani. Beruntungnya aku
punya setengah keyakinan yang membuatku berdiri di atas apa yang kuputuskan.
Kemarin aku menyadari kalau hidupku penuh dengan kekecewaan
dan tipuan. Ada banyak cerita yang menyakitkan, tidak pantas, tidak normal
secara sosial, bahkan buruk secara umum, tapi aku baru bisa menyadari kalau ada
banyak keberuntungan dalam hidupku. Ada banyak hal yang bisa kudapatkan, yang
banyak orang lain tak mendapatkannya, hanya bisa membayangkannya, atau hanya
membicarakannya. Titik balik cara pandang itu bermula ketika aku sadar memiliki
teman-teman yang baik, yang meski tidak banyak, tapi mendukungku dengan lapang
dada. Aku dekat dengan banyak orang baik, aku didoakan oleh orang tuaku dengan
baik, semua itu luput dari kesadaranku selama ini, aku hanya marah pada keadaan
dan menganggap diri sebagai korban. Hari ini aku di rumah, hari ini aku belajar
meletakkan hatiku pada tempatnya. Aku belajar menerima apa yang seharusnya aku
terima.
Pada waktu itu, aku yang belum sampai tiga puluh tahun tak
sanggup menerima ini semua. Namun aku yang saat ini tiga puluh tahun lebih
sudah bisa menjalani apa adanya. Sudah lebih menerima, bahwa hidup adalah soal
menerima dan memberi. Hidup adalah anugerah, dan kadang kau tak merasa
beruntung dengan hidup yang kau jalani, tapi jalan pertama yang harus dilakukan hanyalah menerima, dan kemudian meniti jalan
untuk memberi.

Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya