Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

Nyastra

Berkali-kali saya diajak teman untuk menulis di salah satu website filsafat. Setiap kali disuruh menulis di website itu saya selalu berkata “iya”. Namun nyatanya sampai saat ini saya sama sekali belum membuat tulisan filsafat di sana. Bukan karena saya tidak mau, tapi karena pikiran saya rasanya berat untuk diajak membuat tulisan di kerangka itu. Sejak pertama kali saya diajak untuk membuat tulisan dan sampai sekarang, saya masih saya belum menemukan apa yang bisa sya tuliskan pada web itu.  Lama-lama saya merasa gak enak sendiri dengan teman saya yang gak henti-hentinya mengaka untuk menulis disana. Namun mau bagaimana lagi, saya toh juga tidak bisa memaksakan pikiran untuk bisa menulis yang seperti itu. Barang kali ini lebih pada kecenderungan bacaan. Sejak menjelang lulus di jurusan filsafat, saya lebih banyak melahap bacaan sastra dan juga esai kebudayaan. Buku yang saya baca selain sastran adalah buku Homo Deus. Cukup lama saya menghabiskan waktu untuk membaca buku itu. Rasanya me

PERTANYAAN SEDERHANA SOAL JODOH

Pagi ini aku sedikit pindah dari kantor BLK ke jondol yang dibuat oleh Kebo. Perasaan ingin pergi kesana bukan tanpa alasan. Semua itu karena aku merasa muak dengan kenaifan yang terjadi. Dan menurutku juga ada sedikit rasa kemaruk yang tidak mau diakui.  Terus terang saja, meskipun tempat ini membuatku berkaca pada diriku sendiri, namun di sisi lain aku juga kurang begitu sreg dengan sifat orang yang naif belakangan ini. Merasa sok suci, sok soleh, sok memiliki tanggungjawab dan harus tampak bertanggungjawab, seolah-olah orang lain dianggap biasa saja. Tetapi itu mungkin lebih menjadi persoalan pribadiku sendiri. Kurasa mungkin mereka masih dalam tahapnya seperti itu. Aku yang percaya bahwa kedewasaan itu proses harusnya tidak begitu terpengaruh dengan mereka yang belum mampu melihat diri dalam pengalaman masa lalu. Ah, kenapa aku jadi sok dewasa begini? Ini cukup tolol. Sampai di sana aku melanjutkan membaca buku yang tadi kupilih dari rak. Kumpulan puisi Kahlil Gibran, Sang Nabi

Kedulatan Berfikir

Apakah sebenarnya kedaulatan itu? Apakah bangsa kita hari ini memang sudah benar-benar berdaulat? Saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya penjajahan. Minimal tidak secara fisik. Negara kita sudah diperintah oleh orang kita sendiri, yang juga kita pilih sendiri. Bahkan dalam kampanyenya, sang calon presiden tersebut juga meng-identikan dirinya sebagaimana kita. Mungkin bila kita suatu hari nanti ada identitas baru, yang jumblahnya diperkirakan hampir tiga puluh persen dari demografi bangsa kita. Identitas itu bukan santri, bukan lagi abangan. Tapi identittas cangkruan yang kesehariannya adalah Cuma ngopi, terus tidur, terus makan dan dilanjutkan dengan ngopi lagi, maka bisa dipastikan akan ada yang macak seperti itu. Dan kita bakal bersorak gembira, bahwa ada calon presiden yang berasal dari golongan kita. Padahal jauh dalam kesadaran kita, kita pun menyadari. Bahwa pak atau ibu calon presiden itu tidak akan selamanya bertampang seperti itu. Kalau selama seratus hari jadi presiden sa

IPUNG 1.2.3.

Gambar
(Hidup Ini Keras, Maka Gebuklah) Sudah menjadi logika umum, jika kita ingin menuntut ilmu, maka jawabannya adalah belajar di sekolah. Pendidikan adalah tonggak peradaban, dia menjadi titik awal dari sebuah perjalanan apa yang disebut dengan kemajuan. Namun bagaimana jadinya ketika sebuah lembaga pendidikan ditempatkan sebagai bagian dari ladang perbisnisan? Dan ternyata dalam sekolah itu kita lebih banyak diajak untuk berfikir dangkal, pragmatis, bahkan oportunis. Tapi hal itu bukan satu-satunya. Sebab pada hubungan antar guru-guru di sekolah tersebut juga mengalami setruktur yang serupa, dan ternyata, bila kita landscape dari jauh. Situasi pendidikan nasional pun begitu. Maka sekecil-kecilnya yang dapat dilakukan adalah memperbaiki diri dalam situasi yang memang sudah terlanjur seperti itu. Di situlah seorang tokoh bernama ipung berada. Tidak penting apa yang menjadi latar belakang hidupnya. Yang membuat dia tampak mempesona adalah tentang bagaimana sikap dan tindakannya. Bukan soal

Dari Hati

Gambar
Mencari sesuatu untuk dituliskan dan juga dibicarakan cukup sulit akhir-akhir ini. Ada banyak hal yang saya kira bakal menjadi tulisan atau ocehan yang cukup bagus, namun ternyata banyak terjadi macet di tengah jalan cerita. Pada akhirnya saya sadar bahwa selama ini saya melakukan itu dengan terlalu banyak hasrat. Sedang niat baik dari hati cukup jarang diperhatikan dalam melakukan hal itu. Mungkin karena memang diri ini cukup kemaruk untuk mendapatkan penghargaan dari orang. Sedang diri ini tidak banyak melakukan sesuatu yang cukup berarti. Dari situlah ada kesaran pada diri bahwa selama ini diri ini tidak banyak melakukan itu semua dari hati. Upaya untuk menulis dan berbicara dari hati itu baru muncul kemarin dan terasa ingin dituliskan saat ini. Firasat ini mengatakan kalau apa yang kita bicarakan dan kita tuliskan itu dari hati, maka akan terasa tidak ada tekanan baik setelah dan juga sebelumnya. Berusaha untuk melakukan sesuatu dari hati itu juga membuat diri ini banyak berhitung