Postingan

Apakah aku bermanfaat bagi teman? Atau hanya memanfaatkan teman?

Ungkapan judul diatas mungkin terlihat cukup naif dan terkesan moralis. Bukankah sepertinya wajar dalam pertemanan saling mengambil manfaat dan saling memberi manfaat. Namun akhir-akhir ini lebih banyak terasa aku ingin mencari manfaat dari sebuah pertemanan, entah kepada siapapun itu. Mungkin dalam hal mencari pinjaman uang(utang), atau menumpang tinggal dan juga banyak lagi mencari bantulan lainnya. Hal itu membuatku sampai pada titik ini, sebuah pertanyaan kepada diri sendiri tentang “seberapa bermanfaatkah diriku pada temanku?” Dalam hati ada rasa takut hanya menjadi orang yang oportunis. Hanya mencari kemudahan dalam keadaan, memanfaatkan teman, persahabatan dan segala relasi yang dimiliki hanya untuk kepentingan diri sendiri. Aku mungkin pernah membantu teman, namu jika detelisik lebih jauh lagi kedalam hatiku, jangan-jangan itu hanya kegiatan memuaskan egoku sendiri, “bahwa aku pernah berkontribusi dalam hidup temanku”. Padahal yang diperbantukan itupun juga tidak seberap...

Bagaimana?

Gambar
keruetanku Aku ingin diam dan terus bekerja Tapi itu tak bisa Aku mau bicara baik dan benar Nyatanya itu tak mudah

Catatan Resah

Manusia selalu ingin mencapai lebih dari dirinya yang sekarang. Pencapaiaan hari bukan berarti selesai, melainkan tahap dari pencapaian selanjutnya. Di zaman arus global ini, menutup diri dari perubahan dan kemungkinan kemajuan sama halnya denan bunuh diri. Hari ini orang butuh meyakinkan dirinya untuk dapat menentukan pencapaiannya dalam hidup. Karena jika tidak, dia hanya akan menjadi daun yang terombang-ambing oleh angin. Dari pemikiran itulah aku bertanya pada diriku sendiri, tentang apa yang telah kucapai hari ini? Kenapa sampai hari ini aku merasa hidupku tak ada kemajuan? karena aku juga belum menentukan pencapaianku. Aku masih diam saja di tempat, menyambut angin yang lewat, mengikuti musim yang berganti. Disana aku kadang merasa beruntung, kadang juga merasa gagal. Kadang kadang aku fikir aku sudah terlambat, kadang juga hampa. Semua perasaan itu sering terebersit dalam benakku dan menjadi persoalan yang tak terpecahkan. Dengan begitu aku merasa hidupku cukup suram....

HIDUP SONETA DAN DEWA19

Saya pernah bercerita, bahwa saat saya kecil banyak mendengarkan lagu-lagu dari SONETA dan juga DEWA 19. Karna familiar dengan lagu itu sampai sekarang saya masih suka mendengarkannya. Sebagian dari lagu-lagu mereka cukup bisa saya maknai, dalam arti lagu itu bisa menyentuh jiwa saya dan sebagian lain terasa biasa saja. Namun dalam usia yang sudah dewasa ini saya melihat banyak orang yang awalnya suka dengan mereka(Soneta dan Dewa 19) namun menjadi tidak suka lagi karna berita yang dia dapat diterima soal pentolan grupnya, yakni Bang Haji Rhoma Irama dan Ahmad Dhani. Entah itu berita soal hubungan rumah tangganya atau soal keterlibatan politiknya. Mungkin bagi dia alasan seperti itu masuk akal, dan tidak masalah juga kalau dia memang punya alasan untuk tidak suka. Namun jika logika yang dia pakai seperti itu, maka seharusnya ada banyak sekali tokoh yang dia tidak suka. Termasuk penyair besar Chairil Anwar, Ir. Soekarno bahkan mungkin bisa Kanjeng Nabi. Tapi saya pikir dia juga...

Naik Kereta Api

Pada saat naik kereta api, saya kira rasanya jalannya lurus-lurus saja. Seperti tidak ada belokan. Seperti perjalanan searah. Tetapi ketika melihat relnya dari luar maka akan sangat tampak jalannya berkelok. Akhirnya fikiran saya bisa menerima, kalau kereta api juga bisa berbelok. Tapi meski dia berbelok sebagaimana bus kota, kereta api harus terap berada pada relnya. Jika kereta sudah keluar dari relnya, maka itu pertanda kecelakaan. Kita bahkan sama sekali tidak merasa berbelok saat berada dalam kereta. Tapi kita akan hancur manakala kereta telah keluar dari relnya. Kita bisa tahu kalau kereta berbelok saat melihatnya dari luar. Kereta api selalu dituntut untuk setia pada garis dan fokus pada tujuan. Yang lebih penting lagi hari ini, kereta api dituntut untuk tepat waktu, mampu bersinergi dengan kereta lainnya dan ramah lingkungan. Kecepatan bukan menjadi ukuran, tapi kuncinya adalah ketepatan. Hukum kereta api tetap sama, Setia pada garis atau hancur berantakan. Salam ...

Ustad Saiful Huda -testimoni

Gambar
Pak, e  Begitulah saya dan mungkin teman-teman lain mengingat beliau. Entah siapa yang memulai nama itu untuk beliau. Ustad Saiful Huda. Saat ada yang bilang "satu tauladan lebih bernilai dari seribu kata-kata", maka beliaulah yang langsung saya ingat. Tiga tahun bisa tinggal bersama beliau merupakan anugrah bagi saya. Menurut saya beliau merupakan guru kehidupan setelah keluarga. Cukup pantas ketika para Alumni MAMNU -terutama Santri putra- menganggap beliau adalah ayah sekaligus guru bagi mereka. Beliau menunjukkan bahwa satu teladan lebih berguna daripada seribu kata-kata. Tidak banyak yang tercatat dalam diri saya mengenai beliau, tetapi masih ada yang selalu saya berusaha untuk mempertahankan ingatan itu. Mungkin ini sebagiannya. Tiga tahun menjalani puasa di asrama dan pada awal puasa beliau selalu bilang tentang hadis nabi “Khairul umuri’ ausatuha” sebaik-baik perkara adalah yang sedang/pas saja. Dulu itu bertujua untuk mendidik kita supaya tidak malas meski ...

Satria Dan Pendeta

Durong satrio kog wes arep pandito Ada seseorang yang menulis status di WA seperti itu. Kalau dalam bahasa Indonesia berarti "belum Satria kog udah mau jadi pendeta". Kita mestinya sudah sama-sama faham mengenai makna satria dan pendeta. Saya kira tulisan itu ditunjukkan untuk orang-orang yang sok bikin kata-kata bijak. Bisa jadi saya yang begitu dan kalimat itu ditujukan buat saya. Yang terlalu sering bicara rapi tidak mau menjalankan. Tapi apakah untuk menjadi seorang pandita harus melewati fase satria? Apakah untuk menyuruh orang, kita mesti bisa melakukan dahulu? Menurut saya tidak harus. Tidak semua kata "bijak" harus di ungkapkan seorang yang pernah menjadi "satria". Karna setahu saya pepatah Arab pernah berkata, " lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan". Atau mungkin semua kata itu biasa saja. Hanya penilaian kita saja yang beda-beda.