Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2019

Kecewa Itu Biasa

Tidak ada manusia yang sempurna. Kita sudah lama mengerti hal itu. Mungkin ini terlihat satir. Karena semua orang sudah jelas mengerti maknanya. Namun menurut saya, orang akan benar-benar mengerti maknanya saat dia sudah mengalami kekecewaan dengan orang lain. Semakin dekat hubungannya kita dengan seseorang, semakin intens komunikasi kita dengan dia, maka terbitnya sebuah rasa kecewa itu juga akan semakin melebar. Mungkin akan lebih baik jika saat kita mengenal orang dengan kebaikannya, kemudian dekat dengan dia, kita musti membuka hati lebih lebar untuk menerima apa yang ternyata kita tidak suka dari dia. Sepertinya hal ini mudah dikatakan, namun benar-benar membutuhkan kelapangan hati untuk dapan menjalankannya.

Bukan Kanak-Kanak

Gambar
Kita bukan lagi anak Taman Kanak-Kanak yang suka tepok-tepok, bernyanyi riang “disini senang, disana senang” Hari ini sebagian dari kita sudah berkeluarga, mengasuh anak dan mencari nafkah. Sebagian lagi masih sibuk dalam kepentingan agama dan organisasi masyarakat. Mungkin hanya sebagian kecil dari kita yang masih mengerjakan skripsi dan mengurusi persoalan studi. Masih suka diskusi, membicarakan poilitik dalam negeri dan kasus-kasus demokrasi. Pada suatu titik aku menyadari bahwa setiap orang memiliki takdir masing-masing, menjalani tekanan hidupnya sendiri dan juga berusaha menentukan pencapaian pribadinya. Ada waktunya bahwa seorang teman hanya akan mejadi folower di media sosial kita masing-masing. Kadang enggan untuk menyapa dan berkomentar dan bahkan enggan untuk menghubungi lewat jaringan pribadi. Mungkin hal seperti ini terlihat mengecewakan jika dilihat. Namun saat kita menjalaninya terkadang malah tidak merasa ada masalah. Tetapi pada titik lain saat aku m

Maka Jangan Pernah

Saya cukup meyakini bahwa setiap manusia dewasa pasti pernah merenung. Entah itu manusia dewasa di zaman milenial ini maupun di zaman purbakala. Merenung merupakan sebuah ciri bahwa dia manusia, karna saya tidak pernah menerima informasi mengenai monyet dewasa yang merenung. Perubahan zaman dimulai dari satu orang yang merenung mengenai hal itu. Namun tak ada gunamya ketika terlalu banyak merenung tanpa aksi yang kongkrit. Sebagaimana manusia pada umumnya, sayapun sering merenung. Sendiri dirundung pertanyaan mengenai “siapa saya?” sebuah pertanyaan yang pastinya juga dirasakan oleh banyak orang. Tidak peduli dia anak petani maupaun anak sultan. Jika dia mau merenung, perytanyaan mengenai hal itu pasti terlintas dibenaknya. Entah jawaban itu akan dicarinya atau tidak. Entah hal itu akan membawanya menuju keinginannya atau tidak. Perenungan adalah ruang belajar khusus seorang panusia pada dirinya sendiri. Sependek pengalaman saya, merenung tidak hanya soal kerja fikiran, namun jug

Tidak Ada Kesimpulan

Beberapa saat menjelang terbit fajar, tiba-tiba saja aku terbangun dari tidur. Entah karena alasan apa? Bisa jadi karena ingin ke kamar mandi. Kemudian kuputuskan untuk ke kamar mandi dan setelah itu kembali tidur lagi.   Namun kesadaran tak kunjung hilang, entah karena memang sudah cukup waktu untuk beristirahat atau memang pikiran sedang tak tenang. Akhinya kuputuskan saja untuk duduk dan melihat sekitar rungan. Kulihat kembali buku-buku yang tertata rapi, beberapa pakaian yang belum dicuci dan kertas-kertas yang tengah berserakan di sekitar lemari. Ada cukuo banyak kertas disana, ada kertas amplop, struk belanja, kwitansi dan juga undangan pernikahan dari teman. Secara tidak sadar tangan ini meraba kasur untuk menemukan SmartPhone namun ternyata batrenya sudah habis.  Jadi pada akhinya yang dilakukan adalah mengambil salah satu buku dan membukanya. Tidak seberapa lama membaca buku ternyata perut terasa lapar. Ketika fikiran sudah berbicara pada diri bahwa ia butuh makan, ma

Hidup Tak Seanjing itu Kawan

Aku tak sampai hati mengatakannya Seperti ingin kubayangkan saja ngopi di neraka Hidup ditelan kebuntuan, mau mati takut mengecewakan Dipandang menyedihkan, dirawat menyusahkan Entah bagaimana ini? Kukira takdir hanya butuh dijalani,   Hanya kesimpulan akal yang jauh dari hati Sudahlah Semua pasti akan berubah Tak penting menjadi kanan atau kiri Tidak perlu berteriak hanya untuk meminta Hidup tak seanjing itu kawan

Tamasya Masa Kecil Bersama Pooh

Gambar
Sebagai anak kecil di tahun 2000-an sudah semestinya kita mengenal cerita tentang Winnie the Pooh, atau sebenarnya ini adalah cerita Christopher Robin dengan para teman bermainnya, yakni Pooh dan teman-temannya yang hadir dengan berbagai karakter unik. Dalam cerita ini, Christopher Robin cenderung lebih dekat dengan pooh, si beruang yang selalu bersikap tenang atau mungkin lebih tepatnya pemalas dan menyukai madu.  Sebagai manusia Christopher Robin terikat dengan dunia sosialnya. Dia mengikuti tuntutan dirinya untuk giat belajar bekerja dan berkeluarga. Hal itu tentu membuat dia lupa dengan masa kecilnya, yakni bermain dengan Winnie the Pooh dan kawan-kawan. Sedangkan Winnie the Pooh peserta kawan-kawan tetap pada karakter aslinya dan masih suka bermain. Christopher Robin telah menjadi bagian dari dunia yang berlari, yang menuntut dirinya untuk menduduki pencapaian dan membangun identitas. Sedangkan pooh berada dalam dunia yang tetap dan karakter dirinya pun tidak berubah. Dala

Evaluasi Diri : Membangun Kemauan

Entah bagaimana aku harus menceritakannya. Sepertinya sampai saat ini aku tidak memiliki pencapaian apapun.   Mungkin seharusnya di umurku yang sudah 25 taun ini aku sudah menjadi orang, dalam arti soal profesi, identitas, tabungan dan persoalan mendasar orang dewasa lainnya. Namuan pada kenyataannya hal itu masih terasa cukup jauh dalam diriku. Mungkin karena aku kurang fokus dalam menjalani apapun, tidak disiplin dan enggan menabung. Aku mengakui bahwa hal itu benar. Ada banyak tata nilai sebagai orang dewasa yang seharusnya sudah aku jalankan tapi masih belum. Sebagaimana pelajaran matematika, ketika rumusnya tidak dijalankan maka tidak akan ada jawaban. Begitu juga dengan aku yang tidak menjalankan rumus sebagai orang dewasa, maka aku masih tetap saja anak-anak yang hidupnya serampangan. Mungkin memang sudah mandiri, dalam arti memenuhi kebutuhan pribadi, namun belum dewasa sebagai manusia. Harus ku akui bahwa sampai saat ini aku masih enggan mempersiapkan diri untuk menjadi man

Sebuah Persaudaraan Tidak Punya Rumus Yang Konstan

Tiga hari yang lalu mas ku di Blitar menelfonku dan tadi sore aku mendapat vidio call dari Mbak ku di rumah. Dia menanyakan persoalan yang wajar sebagai saudara. Aku sendiri juga tidak begitu seriuas menanggapinya. Aku tidak yakin apakah sebagai saudara dia kangen kepada adiknya. Atau dia lebih untuk berusaha menjaga hubungan sebagai keluarga. Entahlah, karna padadasarnya aku juga enggan untuk menghubunginya. Aku seperti tidak begitu dekat dengan mereka, aku jarang juga menceritakan persoalan yang menurutku penting dalam hidupku kepada mereka. Rasanya sangat tipis sekali hubungan emosionalku dengan para saudaraku. Dari dulu hanya menghubunginya karena persoalan minta uang, mengurus barang dan hal-hal materil lainnya. Rasanya tidak pernah aku berbicara mengenai hal-hal rumit seperti mimpi-mimpiku, perasaanku dan juga cita-citaku kepada meraka. Persoalan itu lebih banyak kupendam sendiri dalam diriku karna kupikir mereka tidak akan mengerti. Karna aku sering merasa mereka lebih banyak