Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2022

#3

Gambar
Siang hari itu, sehabis hujan yang tidak begitu deras di Jakarta Pusat, tepatnya di depan Museum Nasional, aku benar-benar merasa ada di Indonesia. Di depan nilai budayanya yang tinggi, juga dengan ketimpangannya yang tidak kalah tinggi. Bangsa yang besar, sudah tentu memiliki masalah besar. Di depan gedung museum nasional. Aku berhenti untuk beberapa waktu. Bersama orang-orang yang sedang berteduh di halte depan pagar museum. Ada dua pemulung perempuan yang sedang mengobrol dengan seorang kopi keliling. Mereka membeli kopi, dan salah satunya meminta sebatang rokok. Melihat raut muka dan cara penampilan penjual kopi keliling itu, aku bisa tahu dia orang mana. Di pojok kiri halte ada dua orang bapak-bapak yang entah sedang menunggu apa. Aku juga tidak tahu mereka sedang membicarakan apa, sebab aku juga tidak peduli. Yang kutahu mereka hanya mengobrol dengan “logat Jakarta”. Juga ada tiga orang tukang kebun yang sedang menurus tanaman di pinggir jalan. Mereka tampak menggunakan seragam,

#2

Gambar
Sampai di Stasiun Gambir pada siang yang biasanya sudah cukup terik. Namun cuaca di Jakarta juga hujan. Tidak cukup deras, namun suasana tampak basah dan agak dingin. Badanku tidak merasakan perubahan suhu yang drastis. Serasa hawa biasa dalam ruang yang berbeda. Stasiun gambir yang dulu kulihat di TV, tampak mirip stasiun Kota Malang, kini terlihat menjadi stasiun yang mewah. Sudah ada lift dan eskalator, tempat duduk yang unik dan nyaman, dan ternyata juga ada tempat untuk pijit. Rasanya sudah banyak setasiun yang meng- upgrade penampilannya menjadi keren seperti ini. Menjadi lebih nyaman dan lebih instragrameble. Melihat kereta api dan stasiunnya yang semakin rapi, membuatku sadar bahwa kehidupan sosial semakin membaik. Walau pun semua itu tidak boleh lepas dari kritik, sebab masih banyak ketimpangan yang terjadi. Aku duduk di sebuah bangku spons, yang didesain panjang dan meliuk seperti setengah lingkaran pada angka delapan. Sambil men- charger ponsel, kupandangi

Halan-halan #1

Gambar
Selasa malam, aku senang ketika dikabari harus pergi ke Jakarta. Apalagi hanya sendiri. Terbayang suasana jalan-jalan setelah banyak kegiatan yang terasa biasa. Dalam benakku, aku akan bertamasya dan menelusuri kota besar, yang sampai saat ini masih menjadi ibukota. Tidak butuh waktu lama untuk mempersiapkan alat dan dokumen yang dibutuhkan. Selebihnya adalah mencari jadwal kereta dan menghubungi teman yang ada di sana. Tidak semuanya bisa menemui, mengingat hari ini kita memiliki kesibukan masing-masing. Pada akhirnya aku berkesimpulan, bisa bertemu atau tidak bukanlah hal yang penting. Mendengar kabar kalau mereka sehat tampak lebih penting. Yang lebih penting lagi adalah mendengar jawaban mereka saat aku bertanya, “Apa kamu bahagia?”, dan mereka menjawab, “Ya, aku bahagia”. Setidaknya pertanyaan itu membuat kita sama-sama sadar pada satu hal yang sangat penting. Aku memilih berangkat dengan kereta jam lima pagi. Tepatnya pukul 04:55. Dalam tiketnya, kereta itu akan sampai Stasiu

...

Membaca sebuah buku membuatku teringat pada kesalahan dimasa lalu. Apakah semua tindakan itu dapat termaafkan? Tampaknya tindakan itu menimbulkan akibat yang tak bisa dihindari. Manusia dewasa berbuat tanpa tekanan, dan ia bertanggung jawab pada setiap tindakannya. Suka atau tidak, mau atau tidak, begitulah hukumnya. Tindakan pribadi yang bebas juga menuntut tanggung jawab pribadi. Sampai saat ini penyesalan itu ada. Hingga detik ini rasa bersalah itu belum terobati. Sebuah senyuman tidak menandakan ikhlas, sebuah ucapan tak mewakili hati. Kita sama-sama punya pilihan untuk memaafkan dan mengobati. Kita juga punya pilihan untuk minta maaf dan memperbaiki. Namun semua itu memiliki tanggung jawab dan konsekuensi. Kuatkah kita menanggungnya? Seharusnya aku berhenti dari dalu. Meminta keadilan orang lain dalam memandangku. Tidak juga pada teman. Orang lain terlalu sempit untuk diriku. Biar kujalani kehidupanku dalam keberanian untuk "maju". Kurasa yang disudutkan bukan pribadi, t

Memperbaiki Hati dan Kerja

Angger dilakoni wae, mengko nek ketemu dalane. Wong kae yo ngerti-ngerti moro-moro rabi ngono lo Begitu pesan yang sampai untukku pada suatu malam menjelang pagi. Saat setelah aku membeli makanan dan sedikit berbincang. Aku lebih merasa pesan itu untukku dari pada untuk orang yang diceritakan. Ungkapan “Angger dilakoni wae”, mungkin adalah arahan untuk tetap berbuat, bekerja, berupaya, dan menjalankan apa yang terbaik. Tak perlu risau nanti akan menjadi apa dan hidup bagaimana. Walau pun dalam hati kita masih saja merisaukan itu, jangan buat kerisauan itu menghambat harapan. Mungkin ini cara pandang khas orang tua. Melihat hidup di saat ini dan menjalaninya dengan keikhlasan. Kedekatan dengan Rab-nya menjadikan mereka tenang dan jiwanya kuat bertahan. Sedang dalam benak anak muda, masa depan harus dipersiapkan. Saat mereka tidak memiliki apa-apa di hari ini, mereka bingung ,akan menjadi apa di hari depan nanti? Keresahan seperti itu dapat melemahkan jiwa, dan bisa membuat stress.

Mencatat sesuatu yang bisa kunikmati

Sudah berhari-hari aku berkeinginan untuk menulis, tapi tidak ada pikiran yang kuat untuk menuliskan sesuatu. Bahkan proyek pribadiku pun tak terpegang. Barangkali ada yang tidak tenang dalam diriku. Mungkin ada banyak hal yang tak bisa kudamaikan pada saat ini. Sehingga aku tak mampu merangkai kata-kata untuk diriku sendiri. Ditambah dengan kondisi badan yang kurang fit belakangan ini. Radang tenggorokan yang sukar untuk sembuh. Dalam usaha menembus kejumudan, aku berkunjung ke ruang yang berbeda. Hingga entah disengaja atau tidak, ada orang yang tiba-tiba memuji tulisanku. Dia suka dengan cerita yang kutulis untuk sebuah website . Pujian itu pun semakin mendorongku untuk menulis, meski sampai saat ini aku tak tahu harus menceritakan apa? Mencatatkan apa? Dan mengungkapkan makna yang bagaimana? Pada akhirnya yang kutulis hanyalah deretan kalimat ini. Walau tak jelas mengarah kemana? Tapi aku cukup lebih ringan dengan melakukannya. Mungkin sebaiknya aku kerucutkan saja catatanku pada

Bersama Sisa Buku Ku

Gambar
Seberapa besar aku menghargai buku? Sepertinya kini tidak lagi seperti yang dulu. Masa muda yang penuh idealisme, perasaan ingin mengubah banyak hal, dan hidup dengan mengkritik dunia. Hari ini hidup sudah berbeda. Aku tidak menganggapnya lebih realistis, tapi lebih matematis. Tentang apa yang aku kerjakan dan yang didapat. Apa yang aku perjuangkan, bukan karena aku menyukainya. Namun karena tak ada pilihan lain. Pemilihan buku pun berubah, dari yang awalnya buku sejarah dan filsafat, kini lebih cenderung ke sastra dan Agama. Barangkali ini merupakan naluri untuk pemenuhan hati. Sudah waktunya diri mengalir pada sensitivitas dan penerimaan. Apabila diizinkan, aku ingin hidup bersama banyak buku di sampingku. Sebagai teman, sebagai jalan. -8 Agustus 2022