Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2019

Melihat Diri Dari Dalam

Entah bagaimana aku harus memulainya. Ada banyak hal yang seharusnya bisa ditulis untuk saat ini. Namun kenyataannya aku tak dapat menulis sedikit pun. Pikiranku terasa mati untuk membangun sebuah paragraf. Bahkan mungkin untuk menulis sederet kalimat. Rasanya semuanya mati sia-sia. Ada banyak hal yang luput untuk aku kerjakan selama ini. Bahkan aku sampai lupa mengenai mimpiku sendiri. Atau mungkin hanya pura-pura lupa. Sebenarnya aku harus rajin membaca dan menulis. Dengan begitu kikiranku akan terasah dan tajam dalam menganalisis banyak hal. Namun yang terjadi adalah: aku masih saja tidak responsif dalam melihat sesuatu untuk dimasukkan dalam tulisan. Sehingga tak itu menumpulkan pikiranku untuk menuangkan gagasan. Bahasa kasarnya adalah: aku masih saja mengikuti kemalasan. Kemalasan ternyata merupakan menu utama dalam hidupku. Ada banyak hal yang sering kupikirkan namun jarang terlaksana karena kemalasanku sendiri, seperti jarang mandi, jarang cuci baju, jarang menyapu dan lain seb

Menulis itu Biasa Saja

Kenapa sih, menulis itu harus kritis? Menulis harus bijak? Menulis harus intelek? Kenapa kita gak menulis karena pengen saja. Pengen curhat, pengen ngrasani orang, pengen mengungkapkan kekesalan yang gak bisa diucapkan tentunya. Kenapa untuk mengeluarkan "sampah" yang ada di kepala saja harus banyak aturan? Kenapa gak langsung diomongin aja sesuai dengan bahasa perasaan yang ada. Kan mudah dan simpel, tidak terkesan njlimet dan ruwet sejak dalam perasaan. Belajar EYD memang membosankan sepertinya. Seperti orang hukum yang harus menghafal undang-undang dan harus bertindak sesuai aturan. Aturan kadang banyak mengkhianati perasaan. Padahal setiap hari kita bicara, kenapa tidak yang setiap hari kita bicarakan itu yang ditulis. Tanpa harus bingung menyesuaikan diri dengan EYD alias ejaan yang disemrawutkan disempurnakan. Pernah ada buku yang judulnya cukup bombastis, "HARTO kamu benci Soekarno?". Penulisnya namanya juga Suharto (tapi bukan Soeharto Orde baru). Cukup bom

Musik Yang Menggetarkan Jiwa

Tawamu adalah musik yang menggetarkan jiwa. Terkadang aku merindukannya. Tidak hanya tawamu, tapi juga keberadaanmu di dekatku. Tentu secara fisik, karena kedekatan dalam hati saja lama-lama menyakitkan. Itu seperti aku merasa sedang makan Bakso Jumbo, padahal gak ada yang bisa dimakan. Aku pun berharap kau masih sama dalam hal ini. Masih menjadi teman bercerita dalam hidupku. Tak peduli dengan hal lain yang mungkin sudah berubah. Karena toh kita memang tak lagi menyatu. Kau bukan lagi music player seperti dulu, barangkali kau hari ini sudah menjadi Ipod atau Sportify , sedangkan aku masih menjadi Compact disc. Kau telah banyak kemajuan, sedang aku masih tetap begini. Tanpa kita sama-sama berubah kita tak bisa menyatu, begitulah teorinya.  Aku memikirkan ini sambil menertawakan kebodohanku yang tak kunjung berubah.Tertawa adalah reaksi dari sesuatu yang menyenangkan. Lebih khusus lagi pada sesuatu yang lucu. Mungkin mamang dalam hal ini aku benar-benar lucu. Entah apakah ini akan menj

Di Warung Kopi

Gambar
Pagi ini aku bangun jam 12 siang. Menuju toilet hanya untuk buang air, tanpa cuci muka. Langsung ikut nongkrong sambil ngopi dan merokok. Ngobrol bersama dua orang yang baru punya anak. Membicarakan mengenai nama anak. Ternyata nama anak hadir dari kecenderungan orangtuanya. Anak mereka laki-laki. Namanya "aneh" menurutku. Aneh yang konotasinya bagus. Satu jam kemudian mereka mau pergi dan aku ikut numpang ke warung kopi menemui teman. Sampai di warung kopi aku sarapan dan ngopi lagi, sambil membaca buku puisi yang kemarin kudapat. Aku hanya bisa bilang buku ini bagus. Mungkin akan ku review pada kesempatan mendatang. Ngomong-ngomong soal   review, rasanya aku sudah jarang melakukannya. Rasanya hal itu menunjukkan bahwa aku tidak mau lagi memikirkan buku yang baru kubaca atau film yang baru di lihat. Ah, dasar malas. Kemudian kuletakkan buku di sampingku dan menyulut rokok. Ternyata pemandangan si warung kopi cukup "indah" saat ini. Keadaannya tidak ramai, namun tid

Kebebasan (sambat)Berekspresi

Narasi memang bisa seenaknya sendiri. Dia menuliskan curhat sebagai sambat, kritik dianggap sebagai bully ,   bahkan sebuah oposisi dianggap sebagai "barisan sakit hati". Maka kebenaran sebuah narasi juga patut dipertanyakan. Narasi sama saja dengan omongan. Dia butuh verifikasi untuk bisa diterima sebagaimana tulisan di buku, koran, apalagi Twitter. Namun dalam konteks hari ini mungkin Twitter lebih dekat dengan orang-orang. Twitter perlu dilihat dari salah satu sudut pandang. Sebagai curhat orang yang kesepian, atau sambat orang yang kurang kerjaan. Tetapi memang tak ada yang lebih tabah dari Twitter. Dia tidak hanya memberi ruang bagi mereka yang bijak dan intelek. Tapi juga teman bagi mereka yang sedang ambyar  dan ingin sambat. Sambat adalah bagian dari ekspresi dan tidak ada salahnya sama sekali.

Rokok Itu Sepertiperti Permen, Tapi Bukan

Gambar
Harga rokok selalu naik setiap tiga bulan. Rata-rata kenaikannya sekitar Rp. 500. Tapi gak ada orang yang protes soal itu. Semuanya kaum perokok menerimanya, meski mungkin dengan berat hati. Namun menjelang harga rokok mau dinaikkan hampir dua kali lipat dari harga awalnya, banyak orang meresahkan hal itu. Terus bagaimana dengan mereka para perokok di kelas ekonomi-lemah (seperti juga saya ini)? Bahkan saya sendiri tak punya jawaban yang mantap kecuali " Embuh". Karena rejeki, umur dan juga jodoh berada di tangan tuhan, Sedangkan rokok berada di tangan penikmatnya. Jumlah perokok sepertinya kian bertambah setiap tahunnya. Sebagian mungkin belum cukup umur, dan sebagain lain sudah di tapi belum punya penghasilan sendiri (seperti saya jaman kuliah). Merokok mungkin kebutuhan primer bagi pelakunya. Bukan hanya sebagai katarsis dalam hidup yang keras ini, tapi juga budaya yang diwariskan dan dibudidayakan oleh industri rokok sendiri, dan juga oleh lingkungan kita bersama.  Urusan

Kenapa Sih Intelektual Perlu Dipamerin!!?

Di media sosial, orang tidak hanya pamer sedang liburan di mana, makan apa dan sama sia. Memperlihatkan diri pada yang lain kalau hidupnya bahagia, dan secara tidak langsung meminta tangan untuk memberikan tombol Like. Gak salah sih, tapi mengganggu di fikiran rasanya. Tapi ternyata ada yang lebih bikin ill feel dari itu, yakni orang-orang yang pamer sedang baca buku apa, atau berkomentar sama hal-hal yang dia temui di media sosial, yang sebenarnya dia tidak begitu tahu kompleksitas masalahnya. Dia pikir dirinya keren dengan begitu. Tiba-tiba shere link website di medsos. Dipikir orang lain gak pada tahu.  Sepertinya keriuhan di media sosial banyak diisi orang kayak gitu, selain juga para buzzer yang udah dikontrak. Film "Republik Twitter" menyadarkan kita bahwa, kenyataan di media sosial itu fana. Dari yang paling pribadi sampai yang politik, dari yang porno sampai yang "berjuang". Semuanya sama seperti artis yang mengiklankan mie instan di TV, tapi sebenarnya arti

Namanya Juga Hidup

Gambar
Akhir-akhir ini aku sering mendengarkan lagu karya Ahmad Dhani yang judulnya "Bebaskan". Lagu itu pernah jadi salah satu soundtrack iklan minuman. Kata kunci ini pasti mudah dalam menebak Lagu itu, mengenai lirik dan nadanya. Menurutku lagu itu bisa meberi energi untuk membuat diri menjadi lebih tegar dalam menghadapi masalah. Tentu masalah perlu di selesaikan dan mendengarkan saja sebuah lagu tidak akan bisa menyelesaikan malsalahnya. Namun ketika mendengar lirik lagu itu diputar bersama nadanya, bisa menjadi salah satu media untuk menyiapkan diri dan akhirnya berlanjut untuk menguatkan diri. Diri yang siap dan kuat dengan keadaan akan lebih mampu untuk melangkah, karena itulah hal pertama yang dibutuhkan oleh orang yang merasakan masalah. Salah satu masalah hidupku adalah, aku tak tahu mau ngapain. Bahkan untuk sekedar menuliskan masalahku saja aku tidak bisa. Mungkin karena itu akhir-akhir ini aku jarang menulis di blog. Untuk sekedar berceloteh dan ngatain orang. Jujur. A